Dalam tulisan ini, saya ingin menekankan (emphasis) pada peran dan kontribusi konkrit intelektual yang berada dalam pusaran inti kekuasaan terutama di NTB, entah sebagai penasihat ahli gubernur, tim ahli bupati, dan walikota, Ada sejumlah soal-soal pelik yang tengah mendera dan bahkan menyandera jalannya demokrasi di NTB yaitu soal politik uang, kemiskinan, SDM rendah, disparitas pendapatan, kesenjangan infrastruktur antara Pulau Lombok-Sumbawa, dan patronase politik yang kian kental. Secara matematis tidak terhitung berapa banyak doktor dan profesor di NTB yang masuk dalam lingkaran inti kekuasaan dan merupakan intelektual aktif di banyak kampus namun, publik seringkali menagih bahkan mempertanyakan sumbangan pemikiran, kritikan dan solusi dari intelektual yang menjadi bemper penguasa. Logikanya, jika banyak intelektual berada dalam pusaran inti kekuasaan sudah seharusnya ada peningkatan mutu kebijakan, mutu birokrasi, mutu pelayanan, mutu pengawasan, dan mutu budaya tata kelola organisasi pemerintah pasti makin baik.
Namun, realitasnya, masih ada kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro pada kepentingan masyarakat kecil, di mana, harga-harga jagung, beras, bawang milik petani murah, akses dan biaya pendidikan semakin mahal.
Apa yang dilakukan intelektual di dalam kekuasaan jika tidak mampu koreksi arah dan landasan kebijakan pemerintah yang salah dan keliru. Apa sekedar hanya menjadi pernak pernik kekuasaan atau hanya digaji untuk melakukan eufimisme (puja puji) terhadap penguasa. Intelektual harus menerjemahkan nilai-nilai dan gagasan penting demokrasi yakni kesetaraan, kebebasan dan partisipasi.
Di era post modern tidak banyak lagi intelektual intelektual organik meminjam istilah Antonio Gramscy (1926) yaitu mereka yang menggunakan pengetahuanya untuk memajukan dan terlibat dalam perjuangan membela masyarakat. Namun, Akhir-akhir ini, nampaknya para intelektual banyak yang menjadi statis, tutup mata dan bisu menyuarakan kebenaran, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan sosial-politik.
Salah satunya dengan lantang bersuara dari dalam rahim pemerintahan terhadap praktek kotor komersialisasi dan kapitalisme yang terjadi di ranah pendidikan. Saya menyadari bahwa menjalankan peran sebagai intelektual memang tidak mudah di tengah fakta sosial meminjam Istilah Emile Durkheim yang paradoksal.
Editor : Purnawarman