Dana Siluman di DPRD Provinsi NTB dan Kebuntuan Budaya Politik Kita
Dr. Alfisahrin, M.Si
Dosen di Universitas Bima Internasional-MFH dan Staf ahli di DPD RI
Sunami korupsi dan praktek gratifikasi kini tengah mendera dan menggerogoti banyak tubuh parlemen di Indonesia sehingga menyebabkan sejumlah anggota parlemen tersandera dalam pusaran kasus hukum. Praktek gratifikasi seperti yang kini terjadi di DPRD NTB, sebenarnya bukan hal baru dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia.
Itu penyakit lama yang telah berurat akar dalam tubuh institusi pelayanan birokrasi pemerintah, praktek gratifikasi telah menjadi cara kuno dan purba dalam kekuasaan politik di parlemen hanya saja baru terungkap dan diketahui publik. Bukan rahasia umum lagi jika patologi birokrasi seperti kebiasaan setor fee oleh kontraktor dan tarik fee proyek oleh oknum politisi agar dapat paket proyek sampai kini masih eksis dan mengendap rapi dalam struktur jaringan kekuasaan.
Mind set apparatus birokrasi dan politisi kita kebanyakan tidak jauh dari urusan transaksi, ambil untung dan balik modal politik. Sebenarnya ini merupakan implikasi dari politik berbiaya tinggi (high cost ) dalam pileg dan pilkada
Dalam politik yang serba pragmatis dan transaksional di era kontemporer saya melihat bahwa kekuasaan telah menjadi industri korporate yang dikelola elite untuk menghasilkan lebih banyak uang karenanya tidak ada yang gratis.
Setiap pelayanan publik yang diproduksi dari dapur parlemen selalu ada harga, tarif dan fee-nya. Publik pun tidak benar-benar dilayani karena tugas etik anggota parlemen karena faktanya akses kekuasaan nyaris serba berbayar.
Pokir misalnya kini menjadi lahan bisnis bukan lagi aspirasi, saran, dan kebutuhan pembangunan publik. Akibatnya esensi politik sebagai pengaturan urusan dan kepentingan publik berubah menjadi arena pertarungan kepentingan bisnis ekonomi elite yang diperdangangkan menjadi sekedar soal receh transaksi.
Editor : Purnawarman