Dr. Alfisahrin, M.Si
Antropolog Politik dan Wadir IV di Politeknik MFH Mataram dan Fakultas Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi Upatma Mataram
MAKNA dan terminologi intelektual akhir-akhir ini seringkali diperbincangkan hangat dalam beragam konteks baik sains, sosial maupun politik. Inovasi, gagasan dan temuan kaum intelektual melalui sejumlah inisiatif riset telah mendorong terjadinya revolusi di bidang sains dan teknologi mutakhir.
Penemuan terkini yang menakjubkan seperti kecerdasan buatan (artifisial intelegence/AI), kloning, dan smart phone merupakan bukti keberhasilan dan andil penting kaum intelektual dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Intelektual bukanlah orang biasa melainkan cendekiawan yang menggunakan kecerdasan untuk berpikir, bekerja, belajar dan menggagas.
Peran intelektual adalah bertindak deliberatif (membebaskan) dengan menyusun kerangka pikir ilmiah yang bersifat sistematis untuk mendorong terciptanya model-model transformasi (perubahan)sosial. Intelektual memiliki kekuatan sekaligus kekuasaan atas sejumlah kepemilikan otoritas ilmu pengetahun, hasil-hasil eksperimen dan eksplorasi riset kaum intelektual menjadi pemicu yang melahirkan banyak kemajuan dan pembaharuan di ragam sektor kebudayaan, ekonomi, teknik, seni dan kehidupan manusia.
Bagi saya kaum intelektual meminjam istilah Arnold Toynbee tidak lain adalah minority creative yaitu sekumpulan orang dalam jumlah kecil namun, memiliki curiosity (naluri ingin tahu yang sangat tinggi), sikap kreatif dan tindakan inovatif. Mereka dengan disiplin menggunakan seluruh potensi diri, cerdik memainkan kecerdasan, dan aktif menghidupkan akal budi untuk menemukan jalan kebaharuan (novelty) terhadap ilmu pengetahuan melalui serangkaian riset dan prosedur kerja akademis yang presisi, validatif bahkan falsifikatif meminjam istilah Karl proper (2012). Oleh karena itu, dalam etika islam maupun etika protestan (protestan ethic) seperti yang diulas oleh Emile Dukheim (1904) bahwa kemajuan-kemajuan mutakhir dunia seperti kemunculan sistem ekonomi kapitalisme global di Eropa dan peradaban politik dunia tidak lepas dari peran intelektual dan rohaniawan.
Sehingga posisi etik agama dan epistemologi antara intelektual dengan orang awam (pandir) tidak sama, bahkan jaraknya jauh langit dan bumi. Intelektual berperan menjadi cahaya, penuntun, dan suluh peradaban untuk mengatasi berbagai kemujudan berpikir, kebodohan dan aneka ketertinggalan yang dialami masyarakat.
Bukan sebaliknya seperti fakta saat ini, terutama dalam dunia politik orang-orang awam telah menjadi dan dijadikan kiblat referensi, patokan serta standar yang menuntun cara pikir mahasiswa dan intelektual sebagai kelas menengah yang cerdik-pandai. Orang-orang awam, kini telah mengambil alih jalan dan cara berpikir orang cerdik, mereka sudah berada di ‘ depan’ bahkan mengatur dan mengendalikan cara pandang, opini bahkan sikap politik orang-orang cendekiawan yang terdidik. Keduanya sudah bertukar posisi, intelektual yang seharusnya berada di depan kini sudah berada di belakang.
Morfologi politik negara kini tengah mengalami anomie meminjam istilah Sosiolog Robert K.Merton yakni ketidaksesuaian antara tujuan kultural sebagai harapan bersama dengan kenyataan yang terjadi pada institusi. Kita bisa cermati misalnya pada partai-partai politik, parlemen, eksekutif nyaris telah banyak dikuasai dan dikendalikan oleh orang-orang awam tanpa kapasitas ilmu namun mereka popular.
Sehingga wajar jika mutu kebijakan, mutu pengawasan, dan mutu undang-undang negara yang dihasilkan sangat rendah. Intelektual sudah mengalami kematian ilmu dan kepakaran meminjam istilah Tom Nichols (2018). Demikian pula dengan mahasiswa-mahasiswa kita, gagal tumbuh sebagai agen of change, agen of control, dan agen of moral karena godaan politik modern yang kapitalistik dan pragmatik tidak jarang mahasiswa dan intelektual terseret serta terjebak dalam political game (permainan politik) yang transaksional dan penuh gimick.
Akibatnya posisi akademis mahasiswa dan kaum intelektual kehilangan kredibilitas, integritas dan legitimasi di publik. Dalam pileg dan pilkada terbaru di NTB terlihat begitu ramai lalu lintas intelektual dan mahasiswa yang berada di kubu tiga kandidat gubernur.
Namun, percakapan publik yang dipertontonkan, isinya hanya caci maki, fitnah dan stigma. Lalu kemana raibnya ide, gagasan, dan program kerja paslon yang seharusnya ikut diadu, ikut dipentaskan, dan ikut diperbincangkan secara kritis sebagai peta jalan pembangunan masa depan NTB.
Saya menduga bahwa gagasan dan ide-ide akademis yang harusnya diusung dan disumbang oleh mahasiswa dan intelektual di kubu-kubu paslon tidak menjadi substansi perjuangan. Faktanya di pojok-pojok desa, warung kopi, pasar, pelabuhan teras rumah bahkan di gubuk sawah petani, pembicaraan mengenai berapa isi amplop ‘serangan fajar’ jauh lebih diminati dibanding diskusi menguliti isi daya tampung ilmu dan program di tempurung kepala para kandidat bupati dan gubernur yang bertanding di pilkada.
Harusnya kita gembira dan menaruh harapan yang baik bahwa ada angin syurga masuknya akademisi dan mahasiswa dalam arena politik meminjam istilah Piere Bordieau akan meningkatkan mutu kebijakan, mutu organisasi pememrintah dan kualitas pelayanan publik yang profesional. Namun, Ironisnya justru intelektual dan mahasiswa dalam pusaran politik, justru gagal menjadi pembeda, pemberi warna dan penyumbang gagasan produktif calon.
Mereka (intelektual dan mahasiswa) lebih menyukai menjadi pengekor yang diatur secara brutal oleh orang-orang awam untuk menjadi relawan, agen money politik, dan produsen yang mengkreasi wacana-wacana murahan dan receh seperti isu politik identitas, jual beli olokan, dan seragan- serangan personal kepada paslon. Mengutip Peter Fleming (2021) dalam The Dark Academia bahwa gejala hilangnya nalar kritis dan minimnya kontribusi pengetahuan intelektual dan mahasiswa dalam proses-proses politik seperti pileg dan pilkada di daerah menjadi lonceng yang menandai awal kematian dini ‘ universitas ‘di ruang publik.
Hemat saya intelektual tidak boleh mati hanya karena digoda dan dilindas oleh pragmatisme politik. Intelektual adalah orang cerdas, kritis dan rasional yang bertugas meniupkan ruh pada akal budi dan kesadaran manusia untuk memajukan alam semesta dengan fitur-fitur canggih ilmu pengetahuan.
Dalam tulisan ini, saya ingin menekankan (emphasis) pada peran dan kontribusi konkrit intelektual yang berada dalam pusaran inti kekuasaan terutama di NTB, entah sebagai penasihat ahli gubernur, tim ahli bupati, dan walikota, Ada sejumlah soal-soal pelik yang tengah mendera dan bahkan menyandera jalannya demokrasi di NTB yaitu soal politik uang, kemiskinan, SDM rendah, disparitas pendapatan, kesenjangan infrastruktur antara Pulau Lombok-Sumbawa, dan patronase politik yang kian kental. Secara matematis tidak terhitung berapa banyak doktor dan profesor di NTB yang masuk dalam lingkaran inti kekuasaan dan merupakan intelektual aktif di banyak kampus namun, publik seringkali menagih bahkan mempertanyakan sumbangan pemikiran, kritikan dan solusi dari intelektual yang menjadi bemper penguasa. Logikanya, jika banyak intelektual berada dalam pusaran inti kekuasaan sudah seharusnya ada peningkatan mutu kebijakan, mutu birokrasi, mutu pelayanan, mutu pengawasan, dan mutu budaya tata kelola organisasi pemerintah pasti makin baik.
Namun, realitasnya, masih ada kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro pada kepentingan masyarakat kecil, di mana, harga-harga jagung, beras, bawang milik petani murah, akses dan biaya pendidikan semakin mahal.
Apa yang dilakukan intelektual di dalam kekuasaan jika tidak mampu koreksi arah dan landasan kebijakan pemerintah yang salah dan keliru. Apa sekedar hanya menjadi pernak pernik kekuasaan atau hanya digaji untuk melakukan eufimisme (puja puji) terhadap penguasa. Intelektual harus menerjemahkan nilai-nilai dan gagasan penting demokrasi yakni kesetaraan, kebebasan dan partisipasi.
Di era post modern tidak banyak lagi intelektual intelektual organik meminjam istilah Antonio Gramscy (1926) yaitu mereka yang menggunakan pengetahuanya untuk memajukan dan terlibat dalam perjuangan membela masyarakat. Namun, Akhir-akhir ini, nampaknya para intelektual banyak yang menjadi statis, tutup mata dan bisu menyuarakan kebenaran, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan sosial-politik.
Salah satunya dengan lantang bersuara dari dalam rahim pemerintahan terhadap praktek kotor komersialisasi dan kapitalisme yang terjadi di ranah pendidikan. Saya menyadari bahwa menjalankan peran sebagai intelektual memang tidak mudah di tengah fakta sosial meminjam Istilah Emile Durkheim yang paradoksal.
Intelektual selain dituntut menekuni dan memperdalam bidang ilmunya tetapi juga punya keperdulian yang tinggi terhadap masalah-masalah kritis publik.
Mengutip Cornelis lay (2019), Kaum intelektual Indonesia tidak perlu alergi dengan kekuasaan. Boleh dan bebas masuk dalam pusaran inti kekuasaan tetapi jangan hanya menjadi aksesoris dan ornamen kekuasaan belaka. Selama ini diskursus kekuasaan meminjam istilah Michel Foucault tentang kaum intelektual sekedar dihadapkan pada dua pilihan ketika berhubungan intim dengan kekuasaan, apakah tunduk atau menjauhi.
Kenyataan yang banyak terjadi sebaliknya, intelektual lebih memilih tunduk dan takluk di kaki kekuasaan dari sejatinya melawan penguasa. Mengutip Noam Chomsky (2022) intelektual banyak disalah gunakan oleh kekuatan kekuasaan untuk ikut menyuarakan dan melegitimasi kebobrokan penguasa yang melanggar konstitusi seperti kebijakan impor, hutang dan pembenaran terhadap politik dinasti dengan dalil-dalil akademis.
Chomsky menegaskan bahwa intelektual have a choice: to rebel or submit to tyrannical power (intelektual punya dua pilihan tunduk atau melawan kekuasaan). Secara histori di Indonesia, fenomena para intelektual mendekat kepada kekuasaan bukanlah hal baru.
Dalam berbagai periode sejarah politik, intelektual dari perguruan tinggi sering kali terlibat dalam proses politik, baik sebagai penasehat, pejabat negara, maupun aktor-aktor strategis di dalam lingkaran pemerintahan. Pergeseran posisi para akademisi dari dunia kampus ke panggung kekuasaan ini menimbulkan perdebatan filosofis dan pertanyaan sosial yang tidak dapat diabaikan.
Apakah peran ini ikut memperkuat posisi ilmu pengetahuan dalam pembangunan bangsa, atau justru melarutkan independensi dan integritas intelektual?.
Intelektual dan dialektika Kekuasaan di Indonesia.
Sebagai pengagum berat Chomsky (2022), lagi-lagi saya mengutip pendapatnya bahwa kaum intelektual berada pada posisi untuk mengungkap kebohongan pemerintah, dan menganalisis ‘niat tersembunyi yang mereka miliki. Ketika membicarakan kedekatan akademisi dengan kekuasaan, kita tidak dapat menghindari pembahasan mengenai motivasi di baliknya.
Kehadiran intelektual dalam pemerintahan sering kali didorong oleh dorongan idealisme: keinginan untuk menerjemahkan gagasan akademik menjadi kebijakan yang konkret. Sebagai contoh, para akademisi sering kali merasa bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk memperbaiki keadaan masyarakat melalui kebijakan yang berbasis riset ilmiah.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa terdapat juga godaan untuk mengakses sumber daya, pengaruh, serta kekuasaan yang dapat memperkuat posisi pribadi atau institusional. Selain motivasi idealisme, terdapat realitas kompleks yang membuat hubungan akademisi dengan kekuasaan menjadi topik yang patut didalami.
Salah satu aspek yang kerap mempengaruhi keputusan akademisi untuk terlibat dalam pemerintahan adalah kesempatan untuk memperluas jaringan dan memperkuat pengaruh dalam lingkaran kebijakan.
Melalui kedekatan dengan pengambil keputusan, akademisi dapat memainkan peran penting dalam menyusun program atau undang-undang yang lebih sesuai dengan hasil riset mereka. Namun, di balik semua ini, terdapat risiko kompromi terhadap independensi akademik.
Ketika seorang akademisi terlibat terlalu dalam dengan struktur kekuasaan, ada kemungkinan besar mereka akan menghadapi dilema etika, terutama ketika kebijakan yang dibuat tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah demi kepentingan politik.
Di sisi lain, godaan kekuasaan dan akses ke sumber daya juga bisa menimbulkan pergeseran fokus dari pengabdian ilmiah murni ke upaya untuk memperkokoh status atau memperoleh keuntungan tertentu. Akademisi yang berada di posisi strategis dalam pemerintahan mungkin merasa tergoda untuk mengutamakan agenda pribadi atau institusi asal mereka, yang terkadang bisa bertentangan dengan objektivitas ilmiah.
Selain itu, dengan meningkatnya ketergantungan pada hibah dan dana riset, akademisi mungkin lebih mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik untuk mendapatkan akses yang lebih besar ke sumber daya tersebut. Akibatnya, integritas akademik dapat terancam, dan ada risiko bahwa penelitian akan digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan yang tidak sepenuhnya didasarkan pada data atau bukti ilmiah yang kuat.
Intelektual di Tengah Kekuasaan dan Kebenaran
Hubungan antara akademisi dan kekuasaan dapat dianalisis melalui perspektif Foucaultian, yang menekankan bahwa kekuasaan dan pengetahuan selalu saling berkelindan. Michel Foucault dalam karyanya Madness and Civilization dan The Birth of the Clinic menguraikan bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari institusi formal seperti negara atau pemerintah, tetapi juga dari kemampuan untuk mengontrol wacana serta mendefinisikan apa yang dianggap sebagai kebenaran.
Dalam kerangka ini, akademisi yang menjalin kedekatan dengan kekuasaan menghadapi dilema: mereka memiliki peluang untuk memengaruhi konstruksi kebenaran yang dibentuk oleh negara, namun mereka juga terancam kehilangan otonomi dan integritas akademis jika tidak waspada. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah para akademisi yang terlibat dalam kekuasaan dapat tetap menjadi penjaga kebenaran? Filsuf seperti Plato dalam “Republik” pernah berpendapat bahwa kaum intelektual, atau para filsuf-raja, idealnya memerintah demi kebaikan kolektif, dengan kebijaksanaan sebagai panduan utama.
Namun, realitas politik sering kali menyulitkan idealisme ini, karena kekuasaan cenderung bersifat korup, sebagaimana Lord Acton pernah mengungkapkan bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” (Aris, Mundayat, 2018). Dalam kerangka Foucaultian, pengaruh kekuasaan terhadap wacana kebenaran menyoroti risiko bahwa akademisi, meskipun berangkat dengan niat luhur, dapat terperangkap dalam struktur kekuasaan yang secara halus tetapi signifikan membentuk arah riset dan pengaruh mereka.
Akademisi yang terlibat dalam proses kebijakan publik menghadapi tekanan untuk menyesuaikan gagasan mereka agar sejalan dengan agenda politik yang sedang berlaku. Hal ini berpotensi mengubah fungsi akademisi dari penjaga objektivitas ilmiah menjadi alat legitimasi kekuasaan yang ingin memperkuat narasi dominan.
Lebih jauh lagi, godaan untuk memanfaatkan akses ke pengaruh dan sumber daya dapat menyebabkan kompromi yang melemahkan integritas intelektual. Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah akademisi dapat tetap menjadi penjaga kebenaran bergantung pada kemampuan mereka untuk menyeimbangkan peran sebagai aktor politik dengan komitmen pada etika akademik dan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum yang berbasis bukti dan kebenaran ilmiah.
Akademisi yang mendekat kepada kekuasaan berada di persimpangan antara idealisme dan realitas, membawa serta potensi besar yang dapat memancarkan sinar pencerahan maupun bayangan kelam. Dalam perannya, mereka memiliki kemampuan untuk menginjeksi kebijakan dengan napas berbasis bukti, memberikan bobot pada keputusan yang sering kali dirundung oleh kepentingan pragmatis dan kompromi. Keahlian yang lahir dari disiplin akademik mereka mampu mengisi kehampaan analitis yang kerap membelenggu birokrasi, menghadirkan pandangan yang lebih terukur dan rasional.
Namun, kedekatan ini juga menyisakan pertanyaan filosofis tentang moralitas dan integritas: apakah mereka mampu mempertahankan kebenaran yang mereka anut, atau akan terjebak dalam arus kekuasaan yang melunturkan nilai-nilai yang pernah mereka junjung? Sebab di balik peran mereka, tersembunyi paradoks bahwa pengetahuan, jika dipadukan dengan kekuasaan, bisa menjadi pedang bermata dua, menciptakan tatanan yang lebih baik atau justru mempertegas ketidakadilan yang ada.
Juga jika mereka terlalu tunduk pada kehendak politik, kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan bisa rusak, dan mereka akan menjadi simbol kolaborasi yang lebih melayani kepentingan elit daripada rakyat. Sebaliknya, jika mereka bersikeras mempertahankan kebenaran ilmiah dan melawan arus, mereka bisa menghadapi pengucilan atau pelemahan peran mereka dalam pemerintahan.
Paradoks ini menunjukkan betapa sulitnya menciptakan perubahan struktural dalam sistem yang dirancang untuk mempertahankan dirinya sendiri, dan seberapa besar keberanian yang dibutuhkan untuk tetap setia pada prinsip-prinsip keilmuan. Namun, optimisme tetap ada bagi mereka yang berpegang pada visi yang lebih luhur.
Akademisi yang mendekati kekuasaan dengan hati-hati dan tetap terhubung dengan komunitas ilmiah dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan yang sejati. Keberadaan mereka adalah pengingat bahwa kebenaran tidak boleh dikompromikan secara sewenang-wenang, dan ilmu pengetahuan memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara pada kekuasaan.
Sejauh mana mereka dapat membawa pencerahan ke dalam dunia politik yang kelabu bergantung pada kekuatan karakter dan komitmen mereka. Mereka harus berani melampaui peran sebagai pelengkap dan benar-benar menjadi agen transformasi yang ditunggu-tunggu, membuktikan bahwa integritas dan pengetahuan dapat memenangkan pertarungan melawan godaan kekuasaan.
Godaan dan Daya Pikat Kekuasaan.
Mengapa para akademisi tergoda untuk mendekati kekuasaan? Alasan ini tidak hanya sebatas idealisme, tetapi juga menyangkut ambisi pribadi, seperti peningkatan status sosial, akses ke sumber daya yang lebih besar, dan bahkan dorongan ego. Di dunia akademik, hierarki dan penghargaan kerap didasarkan pada jumlah publikasi atau pengakuan akademik. Namun, di panggung kekuasaan, pengaruh dapat diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang memengaruhi hidup banyak orang.
Daya tarik ini sulit ditolak, apalagi jika kekuasaan tersebut memberikan peluang yang sulit didapatkan dalam lingkup akademis semata. Akademisi yang terjun ke dunia politik sering kali didorong oleh keinginan untuk mempercepat implementasi ide-ide mereka, yang di lingkungan akademik kerap terhambat oleh birokrasi universitas atau keterbatasan pendanaan penelitian.
Dengan memasuki ranah kekuasaan, mereka melihat peluang untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang sebelumnya hanya terkurung dalam jurnal ilmiah, menjadikan politik sebagai jalur strategis untuk memberikan dampak nyata yang lebih luas. (Lukis, Alam, 2024).
Selain faktor-faktor ambisi pribadi, akademisi juga tergoda mendekati kekuasaan karena keinginan untuk memperluas pengaruh mereka di luar lingkungan akademis yang sering terasa terbatas. Dalam dunia akademik, gagasan dan teori mereka mungkin hanya dikenal di kalangan terbatas, seperti komunitas ilmiah atau mahasiswa.
Namun, dengan akses ke kekuasaan, ide-ide tersebut dapat diimplementasikan pada skala yang jauh lebih luas, berpotensi memengaruhi kebijakan publik dan mengubah kehidupan banyak orang. Daya tarik ini, yaitu kemampuan untuk melihat dampak langsung dari pemikiran mereka dalam tindakan nyata, menjadi salah satu pendorong kuat yang membuat akademisi merasa bahwa terlibat dalam pemerintahan adalah cara yang efektif untuk memaksimalkan kontribusi mereka.
Editor : Purnawarman