Dua Wajah Kemiskinan: Data Mana yang Harus Kita Percaya?

Edo Segara Gustanto
Foto Edo Segara Gustanto. Foto Ist

Garis kemiskinan nasional yang ditetapkan BPS untuk Maret 2025 adalah Rp609.160 per kapita per bulan. Penduduk yang pengeluarannya di bawah angka ini dikategorikan sebagai miskin. Data dikumpulkan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi instrumen utama penghitungan kemiskinan oleh BPS.

Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar Purchasing Power Parity (PPP). Dengan klasifikasi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), garis kemiskinan internasional yang digunakan adalah US$6,85 PPP per hari, atau sekitar Rp115.000 per hari. Dalam kerangka ini, masyarakat yang hidup dengan pengeluaran kurang dari jumlah tersebut dianggap miskin.

Bank Dunia pun memakai data Susenas yang sama, namun garis batasnya berbeda. Perbedaan inilah yang menghasilkan selisih angka kemiskinan yang besar antara keduanya.

Konteks dan Tujuan Berbeda

Perbedaan metode ini mencerminkan perbedaan konteks dan tujuan. BPS menyusun data untuk keperluan perencanaan dan evaluasi kebijakan nasional. Fokusnya adalah pada pengentasan kemiskinan ekstrem dan penyaluran bantuan sosial yang tepat sasaran.

Sebaliknya, Bank Dunia melihat kemiskinan dari perspektif global, dengan tujuan membandingkan kondisi antarnegara dan menilai ketahanan sosial-ekonomi dalam jangka panjang. Pendekatan ini berguna untuk mengungkap kerentanan yang tak selalu tampak dalam ukuran nasional.

Sebagai contoh, walaupun angka BPS menunjukkan penurunan kemiskinan, data Bank Dunia menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam batas kesejahteraan minimal menurut standar global. Ini artinya, mereka masih sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, seperti inflasi pangan atau PHK massal.

Kemiskinan Tidak Merata

BPS juga mencatat bahwa penurunan kemiskinan tidak terjadi secara merata. Di wilayah perkotaan, angka kemiskinan justru naik dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen. Sementara di desa turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen. Ketimpangan pengeluaran (rasio gini) pun hanya sedikit menurun, dari 0,381 menjadi 0,375.

Selain itu, 52 persen penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Papua Pegunungan (30,03 persen), sedangkan terendah adalah Bali (3,72 persen).

Adapun kemiskinan ekstrem menurun menjadi 0,85 persen atau 2,38 juta jiwa, namun tantangannya masih besar untuk menghapuskan sepenuhnya hingga tahun 2026.

Perbedaan angka kemiskinan bukanlah soal siapa yang benar atau salah. Ini tentang kerangka pandang dan alat ukur yang berbeda. BPS dan Bank Dunia justru saling melengkapi dalam membaca realitas sosial Indonesia.

Saat ini yang dibutuhkan adalah keberanian dan keterbukaan untuk mengakui bahwa, meskipun angka statistik menunjukkan perbaikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Data harus dimaknai lebih dari sekadar angka. Ia mencerminkan wajah masyarakat yang harus memilih antara makan atau membayar sekolah, antara bertahan hidup atau berusaha naik kelas sosial.

Oleh karena itu, pengambil kebijakan perlu menggunakan kedua pendekatan tersebut: data BPS untuk merancang intervensi yang presisi, dan data Bank Dunia untuk mengantisipasi kerentanan yang tak kasatmata.

 

Editor : Purnawarman

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network