Edo Segara Gustanto
Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian, Analisis Ekonomi Nusantara (PKAEN)
PRESIDEN Prabowo saat menghadiri Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 20 Juli 2025 di Solo, mengatakan data kemiskinan di Indonesia menurun. Prabowo mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47 persen, setara dengan 23,85 juta jiwa. Angka ini adalah yang terendah dalam dua dekade terakhir dan mencerminkan keberhasilan sejumlah program pengentasan kemiskinan pemerintah.
Namun, gambaran ini menjadi kontras jika disandingkan dengan laporan Bank Dunia yang menyebut bahwa lebih dari 60 persen penduduk Indonesia (sekitar 171 juta jiwa) masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan dalam kategori “upper-middle income poverty line” (garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas), proporsinya bisa mencapai 68 persen atau lebih dari 194 juta orang.
Perbedaan angka tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan: Data siapa yang benar? Apakah pemerintah sedang menutupi realitas kemiskinan, atau justru Bank Dunia yang menggunakan standar terlalu tinggi? Mari kita bahas di tulisan ini.
Dua Metodologi, Dua Realitas
Perbedaan angka ini sejatinya tidak terletak pada keakuratan data, melainkan pada metodologi dan tujuan pengukuran yang berbeda. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yang menilai apakah seseorang mampu memenuhi kebutuhan pokok—seperti makanan, hunian, pendidikan, dan transportasi—berdasarkan harga dan kondisi lokal.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait