Tentu ini menjadi perhatian Pemprov karena disadari zaman dahulu kekuasaan negara sangat kuat dan cenderung represif, sehingga bisa saja ada masyarakat yang tak terlindungi haknya.
"Saya pesankan pada tim, kita ini pelayan masyarakat dan selalu dan akan terus berpihak pada masyarakat. Coba teliti lagi. Rupanya tidak semua yang ribut-ribut ini karena tulus membela masyarakat. Ini yang ribut-ribut ini karena kepentingannya terusik dan terganggu sebab selama berpuluh-puluh tahun menikmati hasil di Gili sangat besar. Nah, yang begini-begini ini kami sudah serahkan penyelesaiannya ke Aparat Penegak Hukum dan KPK sudah memerintahkan APH untuk menindak tegas yang begini-begini ini," Karena UPT dan pengurusnya masih segar, Gubernur meminta kepada semua pihak untuk menjaga Gili dengan baik.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sudah langsung datang ke Gili Trawangan untuk menyerahkan HGB kepada masyarakat dan meminta Pemprov untuk bekerjasama dengan masyarakat guna memaksimalkan pemanfaatan Gili ini.
Ia meminta masyarakat untuk memaksimalkan kerjasama dengan pemda agar ada kepastian hukum di Gili, sehingga investasi dan berusaha di Gili menjadi aman dan nyaman. Pengelola UPT, diminta untuk membuat kerjasama dengan masyarakat yang memberatkan.
"Kalau memang masyarakat tidak mampu, jangan bebankan bahkan harus dibantu. Kalau ada masyarakat yang menolak HGB dan menolak kerjasama dengan Pemda, minta bukti-bukti kepemilikan dan bukti-bukti lain dan selesaikan dengan dialog yang hangat dan penuh kekeluargaan. Siapa tahu memang ada salah di pihak pemerintah. Tapi kalau sudah salah dan selama ini mengeruk untung yang sangat besar, terus selalu bikin ribut dan provokatif, laporkan ke APH siapa tahu memang cuma itu cara mengoreksinya," teganya.
Masyarakat dan Pengusaha Lokal Jadi Prioritas Utama Gubernur menegasan, pihaknya di Gili Trawangan bukan membela kepentingan pengusaha asing, namun pengusaha lokal dan masyarakat lokal tetap prioritas utama. Masalah memang muncul ketika pengusaha lokal atau masyarakat lokal selama ini menyewakan lahannya ke pengusaha asing.
"Nah, ketika pengusaha-pengusaha asing ini sekarang tahu bahwa secara hukum lahan itu ternyata milik negara bukan milik pengusaha maupun masyarakat lokal, maka mereka maunya bekerjasama dengan negara supaya aman, tidak lagi mau dengan pengusaha lokal atau masyarakat lokal. Ini sebenarnya salah satu masalah yang harus segera ada jalan keluarnya. Memang urusan sewa menyewa ini tidak sederhana, apalagi kalau uangnya besar," ujarnya.
Dengan demikian, ada sejumlah hal yang dilakukan oleh Pemprov NTB. Yang pertama, bagi yang tidak ada keluhan atau masalah dengan pengusaha asing dan lainnya segera akan diterbitkan HGB nya. Kedua, bagi yang sudah terlanjur menyewakan ke pengusaha asing, agar segera bicarakan dengan pengusaha asing tersebut untuk membuat perusahaan bersama dan hasil joint venturenya bisa bekerjasama dengan Pemda.
"Kalau pengusaha asing bersedia dengan model ini, ya lebih mudah," ujarnya.
Yang ketiga, jika pengusaha asing tersebut tidak mau bekerjasama dengan pengusaha lokal dan inginnya langsung dengan pemerintah, maka pihaknya akan menahan dulu sampai ada jalan terbaik dengan pengusaha yang selama ini tempat mereka membayar sewanya.
" Yang ke empat, ini yang terakhir yang agak butuh waktu dan mesti duduk agak lama dengan bukti-bukti yang valid, yaitu pengusaha atau masyarakat yang sudah menyewakan lahan ke pihak ke tiga dan merasa itu bukan lahan negara sebenaranya tapi lahan nenek kakeknya dahulu. Ini kami tak bisa gegabah juga karena kalau tanah negara ini lepas tanpa bukti yang jelas, kami yang akan disalahkan dan bertanggungjawab," ujar Gubernur.
Pada intinya, Pemprov membuka ruang untuk membicarakan ini dengan jernih dan baik-baik.
"Jika ada kesalahan-kesalahan sebelumnya, kami mohon maaf. Insya Allah personil-personil UPT kami yang baru sudah kami pesankan baik-baik untuk membantu masyarakat dan menyelesaikan persoalan ini dengan baik, benar dan penuh kekluargaan," tutupnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait