Dr. Alfisahrin, M.Si
Dosen Universitas Bima Internasional-MFH dan Staf Ahli di DPD RI
Pemilu di negara demokrasi selalu dirayakan sebagai puncak demokrasi. Suka cita pemilu adalah alarm tanda hidupnya demokrasi, kedaulatan rakyat dan hadirnya pemimpin baru. Namun, faktanya setiap pesta politik di Indonesia selalu berujung kecewa karena pemimpin yang terpilih dari hasil pemilu justru minim komptensi, integritas dan kapabilitas.
Padahal kita terus berharap pemilu melahirkan pemimpin berkualitas, cakap dan kredible membangun pemerintahan yang bersih. Problem pemilu masih dihadapkan pada maslah klasik politik uang, birokrasi pemilu yang rapuh, polarisasi sosial dan dominasi oligarki yang telanjang.
Hal ini memicu tanya tentang apa yang sulit dicari saat pemilu di republik ini dan apa yang telah banyak hilang dari setiap perhelatan pemilu di negara kita. Saya yakin setiap orang akan punya imajinasi dan jawaban uniknya masing-masing.
Namun, prediksi saya bahwa jawaban yang paling banyak terhadap pertanyaan di atas, adalah raibnya kejujuran kolektif bangsa.
Di tengah derasnya pertarungan politik dan perebutan kursi kekuasaan, elite tidak lagi segan-segan menghalalkan segala cara demi meraup dukungan politik dan tiket berkuasa.
Parta-partai politik berseteru sengit saling menjegal lawan demi bangun citra impresif sebagai partai religius, nasionalis dan populis. Sering terlihat manuver dan akrobat partai dalam mengatur siasat demi muluskan jalan berkuasa, mereka rela menitip orang dalam sistem sebagai agen (the Insider) dengan menjadikannya komisioner di KPU, Bawaslu dan DKPP sebagai katup pengaman suara dalam pemilu.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait
