Meski proyek ini diberikan kepada tiga perusahaan melalui penunjukan langsung, namun dugaan kuat bahwa mekanisme tersebut hanyalah formalitas akibat rekayasa pemecahan paket pekerjaan. Ironisnya, sumur bor yang dibangun tidak berfungsi dan tak dapat dimanfaatkan masyarakat.
Hasil audit dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp408.558.437.
Pasal dan Ancaman Hukuman Berat
Keempat tersangka dijerat dengan:
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18, Subsider Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman hukumannya mencakup penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, bahkan dapat dikenakan hukuman penjara seumur hidup, serta denda dan pengembalian kerugian negara.
“JPU akan segera menyusun surat dakwaan dan melengkapi administrasi guna pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri Mataram,” ujar Kasi Intelijen Kejari Mataram, M. Harun Al Rasyid.
“Secepatnya perkara ini akan kami limpahkan untuk disidangkan di pengadilan,” tambahnya.
Sebagai respons terhadap kejadian ini, Pemerintah Provinsi NTB bersama Kejaksaan Tinggi dilaporkan tengah menyusun mekanisme pengawasan berbasis digital untuk setiap proyek yang menggunakan dana transfer pusat. Setiap paket kegiatan kini wajib terintegrasi dengan aplikasi e-monitoring, yang dikembangkan oleh BPKP untuk mendeteksi potensi pemecahan paket dan menghindari manipulasi proses pengadaan.
Selain itu, Dinas PPKKP KLU pasca 2020 sudah tidak lagi menggunakan mekanisme penunjukan langsung pada proyek vital seperti irigasi dan pertanian, sebagai upaya mencegah terulangnya kasus serupa.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait