Mirisnya, koalisi kebanyakan koalisi partai kini, bagi saya tidak lebih dari sekedar hanya bagi-bagi kekuasaan, akomodasi kepentingan elite partai dan distribusi posisi jabatan dalam pemerintahan. Situasi ini, persis dengan yang digambarkan oleh Harold D. Laswell (1936) Politic is who gets what, when and how (politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaiamana).
Pragmatisme partai politik, berimplikasi pada hilangnya jati diri, ideologi dan entitas partai sebagai media artikulasi kepentingan publik meski partai mengakui memiliki ideologi namun, jika faktanya partai hanya menjadi kacung dan alat kepentingan kekuasaan semata, ideologi partai hanya menjadi simbol dan dokumen kertas. Ideologi partaipartai di Indonesia dari pemilu-ke pemilu hanya menjadi ornamen, bukan orientasi.
Kita Bersama dapat menyaksikan telanjang bagaiaman kematian ideologi partai dalam bentuk yang tersembunyi dan menyakitkan. Ideologi partai hanya hidup di pidato rakernas, musyawarah nasional dan kampanye kandidat di pilpres dan pilkada tetapi mati suri dalam penentuan dan pengambilan Keputusan krusial soal rakyat.
Mana suara lantang dan ideologi partai politik yang mengkritik saat terjadi PHK massal di Sritex, mana partai dan kadernya yang ramai mengritik saat ribuan honorer di kabupaten Lombok Timur dan Barat di PHK, mana suara partai dan ideologinya menyoalkan kerusakan hutan parah di NTB, mana partai yang memprotes alih fungsi hutan di Pulau Sumbawa dan banjir bandang yang terjadi di Bima, terbaru di Sumatra.
Nyaris tidak ada gema dan resonansi suara partai dari jantung dan lumbung suara partai di parlmen, padahal, partai politik adalah prasyarat demokrasi. Ia seharusnya menjadi rumah gagasan, sekolah kepemimpinan, dan jembatan antara rakyat dan negara.
Namun di Indonesia, partai justru menjadi institusi yang paling sering dipertanyakan publik, untuk siapa mereka bekerja, nilai apa yang mereka bawa, dan apa sebenarnya yang mereka perjuangkan. Daniel Bell, dalam karya klasiknya The End of Ideology (1960) menulis bahwa masyarakat modern akan memasuki fase ketika ideologi tak lagi menjadi bahan bakar utama politik.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait
