Menyoal Politik Simbolik Negara dalam RUU Perampasan Aset, Siapa Bermain dan Terlibat Saling Sandera

Tim iNews Lombok
Dr Alfisahrin. istimewa

Pada konteks darurat korupsi, kolusi dan nepotisme, inilah menurut saya, rancangan Undang-Undang Perampasan Aset mendesak untuk segera disahkan. Mirisnya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset alih-alih melenggang mulus sebagai instrumen pemberantasan  korupsi, regulasi ini justru mandeg, macet dan tersandera dalam tarik ulur kepentingan politik elite.

Pertanyaan publik pun menyeruak, siapa bermain dan menghambat. Apalagi pasca penangkapan sejumlah penjabat negara termasuk Wamenaker Emanuel Ebenezer, desakan publik semakin kuat dan kencang agar cepat mengesahkan RUU perampasan aset.

Selain karena sudah lama digagas sejak era Presiden SBY, publik menganggap RUU perampasan aset menjadi senjata pamungkas dan azimat sakti yang dapat menangkal merajalelanya praktek korupsi di Indonesia. Publik sudah jengah, jengkel, dan muak dengan segala borok korupsi ditubuh birokrasi, Pelaku korupsi seolah senang karena RUU perampasan aset tampaknya memang tidak akan kunjung selesai.

RUU perampasan aset memang sengaja dibiarkan menggantung dan tersandera menjadi sekedar wacana politik, retorika elite dan komoditas politik di parlemen. Bisa jadi karena kalau benar-benar disahkan RUU perampasan aset justru akan menyasar banyak anggota parlemen sendiri.

Sehingga cukup beralasan jika banyak politisi terkesan takut secara psikis, emosional dan politik terhadap berlakunya RUU perampasan aset karena dapat menjadi ancaman serius bagi pelaku korupsi. Sehingga bisa  menyadera dan menjerat siapapun pelaku korupsi bahkan  di episentrum kekuasaan parlemen dan eksekutif sendiri.

Saya berpendapat dan sah-sah saja bahwa perkara korupsi di Indonesia bukan lagi hanya sebatas soal kerugian negara, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan mentalitas korup tetapi merupakan kejahatan luar biasa yang diorganisasikan secara rapi dan sistemik melalui surplus kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara. Saya menguitp sebuah jajak pendapat oleh Litbang Kompas tahun 2023 hasilnya sangat mencengangkan, sebanyak 82, 2 persen responden menilai bahwa pembahasan RUU perampasan aset mendesak segera harus dilakukan.

RUU perampasan aset dapat menjadi payung hukum dalam memutus mata rantai korupsi sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Perdebatan tentang Undang-Undang Perampasan Aset seolah hanya cenderung terjebak pada jargon pemberantasan korupsi.

Pemerintah dan parlemen menyebut regulasi ini sebagai senjata ampuh menutup ruang bagi koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi. Namun, di balik retorika itu, kita perlu bertanya, siapa sebenarnya yang berkuasa menentukan arah perampasan aset, dan untuk kepentingan siapa.

Hukum sebagai Instrumen Kuasa, Legitimasi Moral dan Hegemoni Negara

Dalam perspektif antropologi kekuasaan, hukum bukanlah instrumen netral. Ia adalah produk politik, hasil tarik-menarik kepentingan, dan seringkali menjadi alat legitimasi bagi penguasa. UU Perampasan Aset memperlihatkan bagaimana negara berusaha memperluas ruang kontrolnya, tidak hanya pada tindak pidana, tetapi juga pada ranah ekonomi yang menyangkut harta kekayaan warga.

Logika perampasan tanpa pemidanaan misalnya, membuka pertanyaan serius. Jika negara bisa merampas aset hanya berdasarkan dugaan keterkaitan dengan kejahatan, bagaimana nasib prinsip keadilan, praduga tak bersalah, dan hak atas kepemilikan, Dalam masyarakat yang kesenjangan sosialnya tajam, praktik ini bisa berpotensi menimpa kelompok yang lemah secara politik maupun ekonomi.

Antropologi kekuasaan mengajarkan bahwa kekuasaan bekerja bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui legitimasi. Wacana pemberantasan korupsi menjadi legitimasi moral yang kuat untuk meloloskan UU ini.

Namun, bila tidak dikawal, legitimasi tersebut bisa bergeser menjadi hegemoni: kuasa negara yang makin besar untuk mengatur, mengambil, bahkan mengendalikan aset warganya. Kita tentu mendukung pemberantasan korupsi.

Tapi pemberantasan itu tidak boleh menjadi pintu masuk bagi praktik perampasan yang justru menimbulkan ketidakadilan baru. Transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme akuntabilitas yang kuat mutlak diperlukan agar UU ini tidak berubah menjadi instrumen kekuasaan yang represif.

Sebab, pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya adalah, apakah UU Perampasan Aset ini benar-benar hadir untuk rakyat, ataukah sekadar memperkuat cengkeraman kuasa negara atas harta warganya. Sehingga dalam banyak kajian antropologi politik, hukum dipahami bukan sebagai instrumen netral, melainkan produk tarik-menarik kekuatan sosial dan politik.

Michel Foucault (1975), dalam The Birth of Prison misalnya, menekankan bahwa kekuasaan bekerja melalui mekanisme yang halus, bukan sekadar represi, melainkan juga normalisasi. Artinya, hukum hadir tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menata, mendisiplinkan, bahkan membentuk cara pandang masyarakat tentang apa yang sah dan apa yang tidak.

UU Perampasan Aset memperlihatkan logika tersebut. Dengan alasan pemberantasan korupsi, negara melegitimasi haknya untuk mengambil alih aset yang dianggap berhubungan dengan tindak pidana.

Namun, di titik ini muncul problem: aset bisa dirampas meski pemiliknya tidak terbukti bersalah secara pidana. Prinsip praduga tak bersalah yang menjadi fondasi sistem hukum modern berpotensi tereduksi.

Bila tidak hati-hati, regulasi ini justru bisa berubah menjadi instrumen kekuasaan yang membuka peluang kriminalisasi, terutama terhadap kelompok yang lemah secara politik maupun ekonomi. Antropologi kekuasaan misalnya Bordieau (1972), dalam Outline of a Theory of Practice mengenalkan tentang symbolic power yaitu kemampuan untuk menentukan apa yang dianggap benar dan salah serta  bernilai, dan bagaimana negara membangun legitimasi melalui wacana.

Korupsi, dalam hal ini, menjadi musuh bersama yang disepakati. Narasi tentang kerugian negara, pengembalian aset rakyat, dan moralitas hukum digunakan untuk menciptakan konsensus sosial. Dengan konsensus itu, UU Perampasan Aset mendapatkan justifikasi moral yang kuat. Namun, saya mengutip apa yang  diingatkan Antonio Gramsci (1948), dalam Prison Notebooks bahwa legitimasi bisa bergeser menjadi hegemoni ketika negara menggunakan wacana moral untuk memperkuat cengkeraman kuasa.

Dalam kasus ini, UU Perampasan Aset bisa menjadi instrumen hegemonik, di mana negara mendefinisikan siapa yang dianggap kriminal, aset mana yang sah, dan bagaimana proses pengambilalihan berlangsung—sering kali tanpa ruang partisipasi publik yang memadai. Dengan kata lain, di balik jargon moral, ada kepentingan politik kontrol negara atas ekonomi.

Kuasa atas Harta sebagai Kuasa atas Tubuh, Negara sebagai Pemilik Narasi Moral

Dalam pandangan antropologi kekuasaan, sebagaimana Michel Foucault (1975) menyingkap, hukum dan regulasi bukan hanya perangkat administratif, melainkan mekanisme biopolitik yakni mengatur kehidupan, mendisiplinkan tubuh, dan menguasai ruang-ruang sosial. UU Perampasan Aset dapat dibaca sebagai cara negara mengontrol bukan hanya koruptor, melainkan seluruh warga negara, melalui logika siapa saja bisa menjadi tersangka.

Di satu sisi, UU ini lahir dari frustrasi panjang publik terhadap kegagalan pemberantasan korupsi. Kejaksaan, kepolisian, KPK terbukti belum mampu sepenuhnya memberantas korupsi bahkan hakim, jaksa dan polisi sering ikut tertangkap sebagai pelaku korupsi. 

Nyaris tidak ada ruang yang steril dan bebas dari korupsi sehingga pantas korupsi dipersepsikan merusak sendi kehidupan bangsa, maka legitimasi untuk merampas dipandang sah. Tetapi, di sisi lain, perlu dicermati bagaimana negara memposisikan diri, dari pelayan publik menjadi penguasa atas kepemilikan individu.

Kuasa atas harta sama artinya dengan kuasa atas tubuh, sebab harta merupakan perpanjangan identitas, status sosial, dan relasi kuasa seseorang di masyarakat.
Dalam Antropologi politik diajarkan bahwa kekuasaan tidak pernah netral.

Ia selalu beroperasi dalam produksi narasi. Dalam UU Perampasan Aset, negara menempatkan diri sebagai pemilik tunggal otoritas moral menentukan mana aset yang sah dan mana yang kotor.

Dengan kata lain, negara mengonstruksi citra moralitas hukum, sementara praktik politik sehari-hari seringkali justru mencerminkan kompromi, negosiasi, dan patronase yang koruptif. Pertanyaan kritis yang muncul, apakah UU ini benar-benar ditujukan untuk membatasi elite predatoris, ataukah justru akan menjadi instrumen baru bagi kelompok penguasa untuk melakukan seleksi politik, Dalam antropologi kekuasaan, hukum kerap berfungsi sebagai senjata simbolik untuk meneguhkan dominasi, bukan semata menjaga keadilan. UU Perampasan Aset membuka ruang besar bagi praktik selektivitas.

Siapa yang dipilih aparat untuk dikenai, siapa yang dibiarkan, dan siapa yang dinegosiasikan. Di sinilah kekerasan simbolik ala Pierre Bourdieu bekerja, hukum tampil seolah objektif dan adil, tetapi di baliknya ada logika politik dan kepentingan kuasa.

Kekhawatiran publik tentang potensi kriminalisasi atau penyalahgunaan wewenang adalah cerminan ketidakpercayaan historis terhadap institusi hukum kita. Antropologi kekuasaan membaca ini sebagai gejala asimetri kuasa, rakyat kecil atau oposisi politik lebih mudah menjadi sasaran, sementara elite yang dekat dengan lingkar kekuasaan lebih sering mendapat perlindungan.

Ruang Negosiasi dalam Budaya Politik

Jika dilihat dalam konteks budaya politik Indonesia, UU ini tidak akan berjalan di ruang kosong. Ia akan berkelindan dengan praktik negosiasi antara aparat, politisi, dan oligarki ekonomi.

Dalam banyak kasus di lapangan, hukum bukanlah pedang yang tajam ke semua arah, melainkan alat tawar-menawar. Dengan demikian, UU Perampasan Aset berpotensi lebih sering menjadi arena transaksi kuasa ketimbang instrumen murni pemberantasan korupsi.

UU Perampasan Aset menghadirkan paradoks. Di satu sisi, ia menawarkan harapan publik terhadap efektivitas perang melawan korupsi.

Di sisi lain, ia membuka peluang bagi penguatan kuasa negara atas individu dan harta benda rakyat. Dari perspektif antropologi kekuasaan, kita harus melihat UU ini bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi juga sebagai praktik sosial-politik yang membentuk relasi kuasa.

Ia bisa menjadi alat emansipasi jika benar-benar dijalankan secara adil dan transparan. Namun, dalam struktur politik Indonesia yang masih oligarkis, UU ini berisiko besar menjadi instrumen reproduksi kuasa bukan melawan korupsi, melainkan menyeleksi musuh politik. Maka, tantangan terbesar bukan hanya pada isi UU, melainkan pada budaya politik dan institusi yang mengoperasikannya.

Tanpa reformasi mendasar pada birokrasi hukum dan politik, UU Perampasan Aset hanya akan menjadi wajah baru dari kekuasaan lama yaitu  kekuasaan  yang menundukkan, bukan membebaskan.

Editor : Purnawarman

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network