“Saya jawab apa yang saya tahu dan apa yang saya dengar saja. Kalau tidak tahu, ya saya bilang tidak tahu,” ujarnya.
Isvie Tegaskan Tidak Terlibat dan Tidak Ada Mekanisme Resmi
Lebih lanjut, Isvie menegaskan bahwa dugaan gratifikasi tersebut tidak melalui mekanisme resmi di DPRD dan tidak melibatkan dirinya sebagai ketua.
“Sama sekali saya tidak tahu, karena hal itu tidak melalui mekanisme yang diatur dalam ketentuan dan tidak melalui saya sebagai ketua DPRD,” katanya.
Ketika ditanya mengenai nilai uang yang diterima anggota DPRD, Isvie kembali menegaskan ketidaktahuannya.
“Oh, saya tidak tahu. Jadi saya tidak bisa menjawab soal itu,” ujar Isvie singkat.
Terkait kemungkinan sanksi internal terhadap anggota dewan yang terbukti terlibat, Isvie mengatakan hal tersebut masih terlalu dini untuk dibahas.
“Belum ke arah sana, karena kami juga belum tahu siapa pelakunya. Kalau pun bicara soal sanksi administrasi, tentu itu menjadi ranah partai,” jelasnya.
Ia berharap agar kasus ini segera dituntaskan agar DPRD NTB dapat kembali bekerja dengan tenang dan fokus pada tugas legislatif.
“Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak melakukan hal yang tidak semestinya,” pungkasnya.
Kejati NTB Pastikan Pemeriksaan Berjalan Sesuai Prosedur
Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTB, Efrien Saputra, membenarkan bahwa Baiq Isvie dimintai keterangan sebagai saksi dalam penyidikan kasus dana siluman pokir.
“Iya, dimintai keterangan, kapasitasnya sebagai saksi dalam penyidikan kasus dana siluman,” ujarnya.
Diketahui, sebelumnya sejumlah anggota DPRD NTB telah mengembalikan uang senilai Rp1,85 miliar ke Kejati NTB. Uang tersebut diduga berasal dari fee proyek pokir, dan kini menjadi bukti penting dalam proses penyidikan.
Kejati NTB telah memeriksa sejumlah anggota dewan, pimpinan DPRD, serta pejabat eksekutif Pemprov NTB berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor PRINT-09/N.2/Fd.1/07/2025 tertanggal 10 Juli 2025.
Kasus ini berawal dari temuan adanya fee sebesar 15 persen dari nilai proyek pokir sekitar Rp2 miliar per anggota dewan—atau sekitar Rp300 juta per orang. Dana tersebut diduga diberikan di luar mekanisme resmi penganggaran.
Pokir (Pokok Pikiran DPRD) adalah usulan program dari anggota DPRD yang berasal dari hasil reses dan aspirasi masyarakat. Pokir seharusnya disalurkan melalui proses perencanaan pembangunan daerah (Musrenbang), bukan melalui jalur pribadi.
Kasus dana siluman pokir di NTB menjadi salah satu yang terbesar dalam lima tahun terakhir, dan berpotensi menyeret sejumlah nama besar di legislatif.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait