Menurut kuasa hukumnya, keputusan ini cacat prosedur dan bertentangan dengan prinsip due process of law.
“Keputusan itu dijatuhkan tanpa pemeriksaan pendahuluan, tanpa pemanggilan resmi, dan tanpa memberikan hak bagi klien kami untuk membela diri. Ini pelanggaran serius terhadap asas proporsionalitas dan asas pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Irvan Hadi, Sabtu (4/10/2025).
Dampak bagi Akademisi
Dr. Ansar menilai sanksi tersebut tidak hanya merugikan secara administratif, tetapi juga mencederai martabat akademiknya.
“Saya merasa dijolimi. Tidak pernah diperiksa, tapi tiba-tiba dijatuhi sanksi etik. Ini jelas bentuk ketidakadilan akademik,” ujarnya.
Dalam gugatannya, Ansar meminta agar majelis hakim PTUN Mataram membatalkan keputusan dekan, memulihkan nama baiknya, serta merehabilitasi jabatannya.
Aspek Hukum dan Posisi PTUN
Kuasa hukum Ansar menegaskan keputusan dekan memenuhi unsur Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dapat digugat sesuai UU Nomor 51 Tahun 2009.
“KTUN yang bersifat konkret, individual, dan final dapat digugat apabila menimbulkan kerugian bagi individu, apalagi jika prosesnya tidak memenuhi asas due process of law,” jelas Irvan.
Sementara itu, Satrijo Saloko memilih enggan berkomentar panjang.
“Minta ke Tim Hukum dan Advokasi Unram ya, Mas. Kami sudah kuasakan, dan sekarang kami sedang fokus proses akreditasi,” tulisnya melalui pesan WhatsApp.
PTUN Mataram kerap menangani sengketa administrasi dari instansi pendidikan tinggi di NTB, termasuk Unram.
Kasus ini muncul saat kampus sedang menghadapi pemilihan senat universitas dan rektor baru, yang sering kali sarat kepentingan politik akademik.
Praktik sanksi etik tanpa pemeriksaan dapat mengancam kebebasan akademik yang dilindungi dalam UU Pendidikan Tinggi.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait