Selain anggota legislatif, pihak eksekutif juga terseret dalam pemeriksaan. Kepala BPKAD NTB, Nursalim, telah dipanggil dua kali untuk memberikan keterangan.
Sejumlah Legislator Dikabarkan Mengembalikan Uang
Efrien mengungkapkan bahwa ada anggota dewan yang telah mengembalikan sejumlah dana ke jaksa penyelidik. Namun, ia belum bisa memastikan berapa total uang yang diserahkan.
“Bahasannya, uang tersebut dititipkan ke jaksa. Kalau siapa saja dan berapa total uang yang telah dikembalikan, saya belum tahu,” jelasnya.
Berdasarkan informasi awal, masing-masing anggota DPRD disebut-sebut mendapat jatah program Pokir senilai Rp 2 miliar. Namun, bukan program yang diterima, melainkan fee sekitar 15 persen dari anggaran atau sekitar Rp 300 juta per anggota.
Kendala Penyidikan dan Bantahan Intervensi Politik
Efrien menambahkan, meski terdapat kendala seperti keterbatasan jumlah penyidik dan kebutuhan data pendukung yang valid, Kejati NTB berkomitmen menuntaskan kasus ini secara profesional.
“Kendala itu tak akan mengurangi kualitas penanganan perkara. Semua langkah dilakukan cermat, proporsional, dan akuntabel,” tegasnya.
Ia juga membantah isu adanya pertemuan Kajati NTB Wahyudi dengan pimpinan partai politik yang dikaitkan dengan kasus ini.
“Seluruh perkembangan pemeriksaan kami sampaikan secara rutin melalui media sosial resmi. Jadi publik bisa mengakses informasi secara terbuka,” tambahnya.
Respons Ketua DPRD NTB
Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda, membenarkan bahwa dirinya telah memenuhi panggilan jaksa.
“Alhamdulillah tiang (saya) selesaikan semuanya,” katanya usai pemeriksaan, Rabu (13/8).
Politisi Golkar itu menegaskan bahwa sebagai warga negara yang baik, ia wajib hadir memberikan keterangan. “Saya sudah terangkan ke penyidik,” ujarnya.
Terkait isu bagi-bagi uang fee, Isvie enggan menjelaskan lebih jauh. “Ya tanyakan ke penyidik. Sudah semua ke penyidik. Saya gak tahu,” kelitnya.
Proses Selanjutnya
Kasus ini akan terus dikembangkan oleh penyidik pidana khusus Kejati NTB. Publik menantikan langkah tegas aparat hukum untuk memastikan bahwa dana Pokir benar-benar digunakan sesuai fungsinya, yaitu demi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi anggota dewan.
Jika terbukti ada tindak pidana korupsi, para pihak yang terlibat bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara serta denda hingga miliaran rupiah.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait