LOMBOK, iNewsLombok.id - Dua anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) secara sukarela mendatangi Kejaksaan Tinggi NTB pada Kamis (31/7/2025). Kedatangan mereka diduga terkait "uang siluman" dari alokasi dana pokok-pokok pikiran (Pokir) tahun anggaran 2025 yang kini tengah menjadi sorotan publik.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Pidkum) Kejati NTB, Efrien, membenarkan bahwa kedua legislator tersebut datang tanpa surat panggilan resmi dari pihak kejaksaan.
“Iya, hadir atas inisiatif sendiri untuk memberikan keterangan ke penyelidik pidsus Kejati NTB,” ungkapnya.
Dugaan Pengembalian Uang Siluman
Informasi yang berkembang menyebutkan bahwa kedua anggota dewan tersebut tidak hanya memberikan keterangan, tetapi juga diduga mengembalikan uang yang sebelumnya mereka terima dari distribusi Pokir.
"Terkait apakah ada atau tidak nya soal pengembalian dana itu belum dapat info dari teman-teman di pidsus, kita cuma di infokan anggota DPRD itu hadir ke Kejati NTB memberikan keterangan saja"ungkapnya.
Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pihak kejaksaan mengenai jumlah yang dikembalikan, langkah tersebut menjadi sinyal bahwa sejumlah anggota legislatif merasa tidak nyaman setelah kasus ini mencuat di media.
Sebelumnya, empat anggota DPRD NTB lainnya telah lebih dulu dipanggil dan diperiksa oleh penyidik Kejati NTB.
Pemeriksaan itu didasarkan pada proses penyelidikan dugaan penyimpangan penggunaan anggaran Pokir yang diduga tidak melalui mekanisme resmi, dan disebut-sebut dialokasikan secara diam-diam tanpa dasar hukum yang jelas.
Isu Dana Pokir 2025 Guncang Internal Dewan
Kasus "uang siluman" dari dana Pokir 2025 telah menimbulkan kegelisahan di kalangan anggota DPRD NTB. Ramainya pemberitaan mengenai dugaan distribusi dana tanpa prosedur ini membuat sejumlah legislator was-was, terutama yang merasa pernah menerima aliran dana tersebut.
Publik juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana aspiratif.
Apa Itu Dana Pokir?
Dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) adalah hasil penyerapan aspirasi masyarakat oleh anggota dewan yang kemudian diusulkan ke eksekutif sebagai bagian dari proses perencanaan pembangunan daerah. Namun dalam beberapa kasus, Pokir kerap menjadi celah untuk praktik penyimpangan, jika tidak disalurkan dengan transparan dan akuntabel.
Berdasarkan data dari beberapa lembaga pemantau anggaran, Pokir yang tidak melalui mekanisme Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) atau tidak tercantum dalam dokumen resmi perencanaan, rawan disalahgunakan, termasuk dialokasikan pada kegiatan fiktif atau yang menguntungkan kelompok tertentu saja.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait