Dampaknya adalah berkurangnya akses masyarakat luas, khususnya kelompok rentan atau mustadh’afin, terhadap layanan keuangan syariah yang seharusnya inklusif dan memberdayakan.
Kecenderungan semacam ini juga berisiko mengaburkan orientasi spiritual dan sosial dari ekonomi Islam itu sendiri. Maqashid syariah menuntut agar setiap aktivitas ekonomi, termasuk dalam sektor perbankan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan, keadilan, dan penguatan peran umat secara kolektif.
Jika bank syariah kehilangan arah karena kepentingan politik dan ideologis, maka fungsi transformasional yang menjadi ruh ekonomi Islam pun ikut melemah.
Meritokrasi, Transparansi, Penguatan Pengawasan Eksternal dan Edukasi Publik
Untuk mengembalikan marwah bank syariah sebagai lembaga keuangan yang profesional dan inklusif, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendorong profesionalisasi manajemen. Penempatan sumber daya manusia (SDM) dalam struktur bank syariah harus mengacu pada prinsip meritokrasi.
Apa itu meritokrasi? Meritokrasi yaitu penempatan SDM berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan integritas, bukan atas dasar kedekatan ideologis atau afiliasi dengan ormas maupun partai politik. Profesionalisme ini penting untuk menjaga kredibilitas institusi serta meningkatkan kepercayaan publik dari berbagai latar belakang.
Langkah berikutnya adalah meningkatkan transparansi operasional bank syariah. Hal ini mencakup komitmen untuk menghindari penggunaan simbol-simbol, jargon, atau figur publik yang memiliki afiliasi politik tertentu dalam aktivitas promosi maupun komunikasi publik.
Bank syariah harus menempatkan diri sebagai entitas yang netral, terbuka, dan berorientasi pada pelayanan umat secara menyeluruh. Ketika identitas politik atau ormas terlalu menonjol, maka misi inklusivitas ekonomi Islam akan terganggu dan justru menciptakan eksklusivisme dalam distribusi layanan.
Penguatan pengawasan eksternal juga menjadi kunci penting. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perlu memastikan bahwa bank syariah tidak dimanfaatkan sebagai alat politik terselubung oleh kelompok tertentu.
Di sisi lain, edukasi publik juga perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami bahwa bank syariah adalah institusi ekonomi yang tunduk pada prinsip-prinsip syariah dan etika profesional, bukan sekadar perpanjangan dari agenda kelompok atau partai. Dengan kombinasi pendekatan struktural dan kultural ini, bank syariah dapat dikembalikan pada fungsi idealnya sebagai pilar keuangan umat yang adil, mandiri, dan terpercaya.
Penutup
Bank syariah, khususnya yang berstatus BUMN seperti BSI, seharusnya menjadi lembaga yang profesional, netral, dan inklusif. Sayangnya, kecenderungan BUMN dijadikan tempat berlabuh bagi pendukung Presiden terpilih, ormas, dan partai politik yang justru merusak independensi serta semangat meritokrasi.
Akibatnya, posisi strategis diisi bukan oleh profesional yang kompeten, melainkan oleh mereka yang dekat secara politik. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bank syariah akan kehilangan arah dan menjauh dari spirit syariah yang menjunjung keadilan dan kemaslahatan umat.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait