Bank Syariah Rasa Ormas dan Parpol

Edo Sagara Gustanto
Edo Segara Gustanto. dok

Oleh: Edo Segara Gustanto

Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara

 

 

BANK Syariah Indonesia (BSI) melakukan perombakan pada jajaran komisaris dan direksi dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada hari Jumat (16 Mei 2025), di Jakarta. Umumnya RUPS digelar menjelang akhir tahun, tapi karena kondisi yang mendesak karena beberapa pejabat di BSI menjabat beberapa posisi penting di Pemerintahan, maka BSI melakukan RUPST.

RUPST tersebut menyetujui perubahan susunan pengurus perseroan, yakni mengangkat Anggoro Eko Cahyo menggantikan Hery Gunardy yang saat ini telah mengemban tugas baru yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

Anggoro bukan orang baru di perbankan. Anggoro terakhir menjabat sebagai Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan untuk periode 2021-2026. Namun, saat ini ia dipindahkan untuk ke depannya memimpin bank syariah milik BUMN yang dulunya merupakan merger dari Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah dan BNI Syariah.

Komisaris Berasal dari Perwakilan Ormas dan Partai

Tidak hanya direksi, beberapa komisaris pun berganti. Jika sebelumnya muncul polemik bahwa perwakilan Muhammadiyah tidak menjadi Komisaris BSI yang berujung pada penarikan dana Muhammadiyah di BSI. Di RUPST kali ini muncul nama Muhadjir Effendy. Muhadjir menggeser posisi Muliaman Dharmansyah Hadad yang sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Utama BSI sejak 2023.

Dalam struktural PP Muhammadiyah 2022-2027, Muhadjir Effendy menjadi Ketua PP Muhammadiyah membidangi Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal. Di periode sebelumnya Muhadjir membidangi Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan.

Selain perwakilan Muhammadiyah, ada juga perwakilan Nahdlatul Ulama melalui kadernya, Addin Jauharuddin yang menjadi Komisaris Independen. Addin Jauharuddin adalah Ketua Umum GP Ansor periode 2024–2029.

Tidak hanya Muhammadiyah dan NU, ada juga nama Nizar Ahmad Saputra, yang sebelumnya adalah Ketua Umum HIMA Persis dan tokoh Samawi. Nizar didapuk menjadi Komisaris Independen BSI.

Sementara itu, Felicitas Tallulembang menjadi satu-satunya anggota Dewan Komisaris perwakilan Partai Gerindra (Parpol) yang tetap menjabat sejak periode sebelumnya.

Kritik Terhadap Independensi dan Profesionalisme Bank Syariah

Idealnya, bank syariah merupakan institusi keuangan yang harus menjunjung tinggi independensi dan profesionalisme.

Ia seharusnya menjaga netralitas politik, memberikan layanan keuangan berdasarkan prinsip syariah kepada semua kalangan tanpa diskriminasi, serta fokus pada profitabilitas dan kesejahteraan umat dalam kerangka maqashid syariah.

Prinsip-prinsip ini menjadikan bank syariah tidak hanya sebagai entitas bisnis, tetapi juga sebagai instrumen keadilan ekonomi yang bersifat universal.

Namun dalam praktiknya, beberapa bank syariah justru terjebak dalam afiliasi yang terlalu kuat dengan ormas keagamaan tertentu atau bahkan dengan partai politik. Kondisi ini menimbulkan berbagai konsekuensi negatif.

Beberapa konsekuensi tersebut di antaranya adalah: Pertama, terjadi erosi kepercayaan publik, terutama dari masyarakat yang merasa tidak terwakili secara ideologis atau politis. Kedua, bank syariah berisiko menjadi alat mobilisasi kekuatan ekonomi untuk kepentingan kelompok tertentu, mengaburkan misi utamanya sebagai lembaga keuangan umat.

Ketiga, potensi konflik kepentingan meningkat, terutama jika pengangkatan pejabat bank lebih didasarkan pada kedekatan afiliasi daripada kapabilitas profesional. Semua ini pada akhirnya mengancam integritas dan keberlanjutan bank syariah itu sendiri.

Maqashid Syariah dalam Perbankan

Dalam perspektif maqashid syariah, bank syariah memiliki tanggung jawab yang jauh melampaui sekadar fungsi ekonomi. Salah satu tujuan utama syariah adalah menjaga harta (hifzhul mal), yang berarti memastikan bahwa pengelolaan dan distribusi kekayaan dilakukan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.

Bank syariah juga seharusnya berperan dalam meningkatkan kesejahteraan umat serta mendukung terciptanya keadilan sosial di tengah masyarakat. Dengan demikian, keberadaan bank syariah tidak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan sosial.

Idealisme maqashid syariah ini terdistorsi ketika bank syariah lebih mengutamakan afiliasi ideologis atau kepentingan politik tertentu. Ketika loyalitas institusi lebih condong pada kelompok atau partai tertentu, maka misi keadilan ekonomi yang seharusnya menjadi poros operasionalnya justru terpinggirkan.

Dampaknya adalah berkurangnya akses masyarakat luas, khususnya kelompok rentan atau mustadh’afin, terhadap layanan keuangan syariah yang seharusnya inklusif dan memberdayakan.

Kecenderungan semacam ini juga berisiko mengaburkan orientasi spiritual dan sosial dari ekonomi Islam itu sendiri. Maqashid syariah menuntut agar setiap aktivitas ekonomi, termasuk dalam sektor perbankan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan, keadilan, dan penguatan peran umat secara kolektif.

Jika bank syariah kehilangan arah karena kepentingan politik dan ideologis, maka fungsi transformasional yang menjadi ruh ekonomi Islam pun ikut melemah.

Meritokrasi, Transparansi, Penguatan Pengawasan Eksternal dan Edukasi Publik

Untuk mengembalikan marwah bank syariah sebagai lembaga keuangan yang profesional dan inklusif, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendorong profesionalisasi manajemen. Penempatan sumber daya manusia (SDM) dalam struktur bank syariah harus mengacu pada prinsip meritokrasi.

Apa itu meritokrasi? Meritokrasi yaitu penempatan SDM berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan integritas, bukan atas dasar kedekatan ideologis atau afiliasi dengan ormas maupun partai politik. Profesionalisme ini penting untuk menjaga kredibilitas institusi serta meningkatkan kepercayaan publik dari berbagai latar belakang.

Langkah berikutnya adalah meningkatkan transparansi operasional bank syariah. Hal ini mencakup komitmen untuk menghindari penggunaan simbol-simbol, jargon, atau figur publik yang memiliki afiliasi politik tertentu dalam aktivitas promosi maupun komunikasi publik.

Bank syariah harus menempatkan diri sebagai entitas yang netral, terbuka, dan berorientasi pada pelayanan umat secara menyeluruh. Ketika identitas politik atau ormas terlalu menonjol, maka misi inklusivitas ekonomi Islam akan terganggu dan justru menciptakan eksklusivisme dalam distribusi layanan.

Penguatan pengawasan eksternal juga menjadi kunci penting. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perlu memastikan bahwa bank syariah tidak dimanfaatkan sebagai alat politik terselubung oleh kelompok tertentu.

Di sisi lain, edukasi publik juga perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami bahwa bank syariah adalah institusi ekonomi yang tunduk pada prinsip-prinsip syariah dan etika profesional, bukan sekadar perpanjangan dari agenda kelompok atau partai. Dengan kombinasi pendekatan struktural dan kultural ini, bank syariah dapat dikembalikan pada fungsi idealnya sebagai pilar keuangan umat yang adil, mandiri, dan terpercaya.

Penutup

Bank syariah, khususnya yang berstatus BUMN seperti BSI, seharusnya menjadi lembaga yang profesional, netral, dan inklusif. Sayangnya, kecenderungan BUMN dijadikan tempat berlabuh bagi pendukung Presiden terpilih, ormas, dan partai politik yang justru merusak independensi serta semangat meritokrasi.

Akibatnya, posisi strategis diisi bukan oleh profesional yang kompeten, melainkan oleh mereka yang dekat secara politik. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bank syariah akan kehilangan arah dan menjauh dari spirit syariah yang menjunjung keadilan dan kemaslahatan umat.

Editor : Purnawarman

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network