Kita harus mampu memisahkan antara perilaku bejat individu dengan integritas institusi pesantren secara keseluruhan. Jika ada oknum yang menyimpang, maka dialah yang harus diadili. Tapi jangan sampai label negatif itu dilemparkan ke ribuan pesantren lain yang selama ini berjalan dengan lurus, ikhlas, dan penuh dedikasi dalam membina santri.
Menghakimi seluruh pesantren karena kesalahan satu orang sama halnya seperti menghancurkan masjid karena imamnya berbuat salah. Itu bukan sikap bijak, dan jauh dari prinsip keadilan.
Sebaliknya, jadikan kasus ini sebagai momentum introspeksi dan perbaikan—baik dalam sistem pengawasan internal lembaga, maupun dalam literasi publik agar tidak mudah terprovokasi oleh framing media yang tendensius.
Di sinilah pentingnya peran Kementerian Agama, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, untuk lebih aktif dalam pembinaan, pengawasan, dan pendampingan pesantren.
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di bawah Ditjen Pendis Kemenag RI memiliki tanggung jawab strategis untuk membina kurikulum, legalitas, serta menjaga integritas lembaga.
Di daerah, Kantor Kemenag Kabupaten dan Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) harus menjadi garda depan yang memastikan bahwa semua pesantren terdaftar resmi, memiliki struktur pengelolaan yang transparan, dan membangun ekosistem pendidikan yang aman dan beretika.
Penguatan sistem pelaporan, pelatihan pengasuh santri, serta audit etika perlu menjadi bagian dari kebijakan berkelanjutan.
Dengan kolaborasi antara lembaga pesantren, pemerintah, dan masyarakat, kasus seperti ini dapat dicegah, dan marwah pesantren sebagai benteng moral bangsa tetap dapat dijaga.
Membangun Pesantren Itu Berat, Merusaknya Bisa Sekejap
Masyarakat perlu sadar, membangun pesantren adalah proses panjang, melelahkan, dan sarat pengorbanan. Butuh bertahun-tahun untuk membentuk kepercayaan, membangun kultur, dan memperkuat nilai. Maka ketika ada opini publik yang gegabah dan tidak proporsional, dampaknya sangat merusak.
Opini yang tidak sehat bisa membuat wali santri ragu, bisa menjatuhkan semangat guru-guru, bahkan bisa membunuh karakter para santri yang selama ini dididik dengan cinta dan kesungguhan.
Di sinilah pentingnya literasi publik dalam menilai informasi. Jangan hanya karena satu berita viral, kita terburu-buru membuat vonis yang menyudutkan seluruh pesantren.
Sekolah Umum Juga Punya Tantangan Besar
Sekolah umum memang memiliki banyak keunggulan: fasilitas modern, jejaring luas, dan pembelajaran berbasis teknologi. Tapi sekolah umum juga sedang menghadapi tantangan serius: lemahnya pengawasan karakter, masuknya pengaruh budaya permisif, hingga tingginya angka bullying, tawuran, dan penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja.
Dalam situasi seperti ini, pesantren justru menjadi pilihan rasional—tempat di mana anak-anak dibina secara menyeluruh: akhlaknya, ibadahnya, kedisiplinannya, dan ketahanannya dalam menghadapi dunia modern.
Perkuat Pesantren, Bukan Tinggalkan
Tentu kita tak boleh menutup mata bahwa pesantren juga butuh pembenahan. Transparansi, profesionalisme, perlindungan santri, dan sistem pelaporan yang terbuka harus diperkuat. Tapi bukan dengan cara meninggalkan pesantren, apalagi mencabut kepercayaan pada seluruhnya.
Justru inilah saatnya masyarakat, pemerintah, dan media bersinergi memperkuat pesantren-pesantren yang baik. Karena mereka adalah harapan terakhir dalam membentuk generasi berkarakter di tengah gempuran krisis moral yang melanda.
Saatnya Cerdas Menilai dan Bijak Bertindak
Mari kita hentikan narasi keliru yang menyudutkan pesantren secara serampangan. Mari jaga marwah lembaga pendidikan Islam yang telah lama menjadi benteng moral bangsa ini. Karena pesantren bukan sekadar tempat belajar—tapi tempat menanam iman, adab, dan masa depan.
Dan pada akhirnya, bukan soal anak sekolah di mana, tapi siapa yang mendidik mereka, dengan nilai apa mereka dibesarkan, dan dalam lingkungan seperti apa karakter mereka dibentuk.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait