"Kalau (PTS) di Jabodetabek mungkin gajo dosen sudah sejahtera, tapi bagaimana di daerah lain, Jatim, Jateng, apalagi di Indonesia Timur, masih banyak yang gaji dosen dibawah UMR," katanya.
Ia memaparkan, alokasi dana pendidikan nasional totalnya bisa mencapai Rp620 Triliun jika benar-benar 20 persen dari APBN.
"Jika saja negara memberi subsidi Rp1 Miliar untuk tiap PTS, sebagaimana UU Desa, maka totalnya cuma Rp4.3 Triliun, negara nggak akan bangkrut yang mulia. Pertanyaannya selama ini kemana dana Rp620 Triliun itu?. Selama ini kita abai, kita hanya dibebankan akreditasi kampus, sertifikadi dosen yang menyibukkan, sementara hak-hak dasar dosen diabaikan," tegasnya.
Padahal, papar TSB, hal ini hanya masalah good will penyelenggara negara saja, baik pemerintah maupun legislatif.
"Ini hanya masalah good will saja yang mulia. Selama ini legislatif pun tidak peduli, mereka memandang PTS ini lembaga nirlaba yang mencari keuntungan dari banyaknya mahasiswa, sementara mahasiswa membebankan biaya ke orangtua. Ini kan kasihan masyarakat kita yang mulia," ujarnya.
Sementara dalam petitum gugatannya, kuasa hukum TSB, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, TSB meminta agar MK mengabulkan gugatan pemohon.
Menetapkan bahwa pasal 7 ayat 3 dan pasal 89ayat 1 UU 12 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 serta pasal 28 ayat 1 UU Dikti, serta bertentangan dengan UUD 45 sebagai hukum tertinggi.
Ketika memberikan nasihat, Hakim MK Enny Nurbaningsih menyatakan, yang dipersoalkan dalam gugatan TSB adalah masalah kesenjangan kesejahteraan antara dosen PTN dan dosen PTS. Ia menilai ini persoalan yang sudah cukup lama.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait