Kolonialisme Internal, Saat Negara Menjadi Penjajah di Rumah Sendiri
Blauner (1969) mengkritik pendekatan integrasi sosial yang menganggap bahwa ketimpangan rasial atau kultural hanyalah masalah perbedaan sosial. Padahal, ketimpangan sejatinya adalah masalah kolonial.
Masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat atau Papua di Indonesia misalnya, menurut Blauner, bukan sekadar kelompok minoritas, tetapi kelompok yang dikolonisasi dari dalam lewat eksploitasi dan represi militer. Sehingga posisinya dalam negara berada di bawah kontrol politik, ekonomi, administratif, dan kultural oleh kelompok dominan oligarki dan kekuasaan.
Blauner menyoroti empat aspek utama kolonialisme internal, Dominasi politik oleh kelompok penguasa di pusat kekuasaan, Eksploitasi ekonomi terhadap sumber daya dan tenaga kerja komunitas pinggiran, Kontrol budaya yang menganggap budaya kelompok dominan lebih superior dan Segregasi sosial yang memisahkan komunitas dominan dan tertindas.
Membaca Landskap Politik Indonesia melalui Kacamata Blauner dan Pablo González Casanova.
Jika lensa Blauner kita bidik dan arahkan ke konteks kolonialisme internal di Indonesia Indonesia, Saya pikir gambaran yang akan muncul cukup jelas, ketimpangan struktural yang berlangsung antar daerah atau antar kelompok bukan sekadar masalah pembangunan yang belum merata, tetapi masalah kolonialisme internal yang telah berurat dan berakar panjang sejak era kolonial. Misalnya, bagaimana Jawa dalam Sejarah diletakan sebagai episentrum metropolis, sedangkan di luar Jawa sebagai koloni.
Sejak masa kolonial, Jawa telah menjadi-sentrisme yakni pusat administrasi, pendidikan, dan ekonomi kolonial. Saya melihat secara historis dan politik, pola ini (Jawasentris) tetap dilanjutkan oleh negara pasca kemerdekaan.
Banyak kebijakan nasional secara tidak sadar tetap mengulang struktur kolonial lama, misalnya eksploitasi sumber daya alam Kalimantan, Papua, Maluku, dan Sulawesi, sedimentasi industrialisasi di Jawa, ketergantungan fiskal daerah kepada pusat. Blauner menyebut pola ini sebagai metropolitan domination, di mana pusat menyerap surplus dari pinggiran.
Analisis yang sama juga diajukan oleh Sosiolog Meksiko Pablo Gonzalez (1965) memperkenalkan pertama kali istilah kolonialisme internal yang mengguncang dunia ilmu sosial. Baginya, negara pasca kemerdekaan bisa saja merdeka secara formal, tetapi tetap menjalankan pola-pola penjajahan di dalam tubuh bangsa itu sendiri.
Penindasan tidak lagi datang dari bangsa luar seperti Belanda (dalam kasus Indoensia), melainkan dari elite nasional yang menggantikan posisi kolonialis lama. Penjajahan tidak lagi berbendera asing, tetapi berwajah bangsanya sendiri.
Jika konsep itu dibawa ke Indonesia, kita menemukan cermin besar yang menyentakkan. Kita merdeka sejak 1945, tetapi struktur sosial-ekonomi dan politik menunjukkan bahwa hubungan kuasa antar daerah dan antar kelompok sosial tidak sepenuhnya bebas dari pola kolonial.
Kita memang tidak lagi menjadi koloni Eropa, tetapi sering kali menjadi koloni dari pusat kekuasaan kita sendiri. Ada kebijakan otonomi daerah tetapi setengah hati dijalankan sebagian kewenangan daerah diamputasi masih tetap dikontrol pusat seperti sumber daya alam strategis, prasaranan strategis, moneter dan fiscal.
González Casanova (1965) menekankan bahwa kolonialisme internal terjadi ketika struktur kolonial diteruskan oleh elite nasional. Dalam konteks Indonesia, ini terasa nyata dalam pola pembangunan dan hubungan pusat–daerah.
Pada era Orde Baru, seluruh kekayaan alam dari hutan Kalimantan, tambang Papua, hingga gas Aceh ditarik ke Jakarta tanpa mekanisme yang adil bagi wilayah penghasil. Akibatnya terjadi kemiskinan sistemik dan kultural yang luas melanda di Papua sehingga memicu ketegangan, kekerasan dan kecemburuan sosial yang berujung pada munculnya aspirasi referendum dan merdeka.
Ironis, warga asli Papua hanya menjadi penonton miskin di tengah pusat tambang Free Port yang mengeruk 1,9 juta ons atau 59 ton emas/tahun data yang saya baca tahun 2024. Pusat kekuasaan bertindak seperti metropolitan colonial yang serakah atau greedy, sementara daerah kaya sumber daya dan rakyatnya diperlakukan seperti inner colonies yang tugas utamanya adalah menyuplai pertumbuhan ekonomi nasional.
Narasi yang dibangun juga sama, daerah harus berkorban demi pembangunan nasional. Persis seperti narasi kolonial lama yang mengatasnamakan misi peradaban, tetapi merampas kontrol masyarakat lokal atas tanah dan masa depan mereka.
Catatan Casanova (1965) menegaskan bahwa kolonialisme internal bisa dikenali dan terlihat dari arus sumber daya yang hanya bergerak satu arah, dari wilayah miskin ke wilayah kaya, dari perifer ke pusat.
Ketika kita melihat Indonesia, fenomena ini sangat kentara, tambang emas di Papua memberi kontribusi besar pada ekonomi nasional, tetapi masyarakat lokal tetap menjadi salah satu yang termiskin di Indonesia, industri nikel di Sulawesi misalnya menghasilkan devisa, tetapi kerusakan lingkungan dan konflik sosial ditanggung masyarakat lokal, energi, batu bara, dan hasil bumi dari Kalimantan dikirim keluar wilayah, sementara kota-kotanya menghadapi polusi, banjir, dan minim fasilitas publik.
Dalam logika Casanova, ini adalah relasi kolonial yang direproduksi di antara warga bangsa yang sama suatu eksploitasi terstruktur yang memakai justifikasi pembangunan nasional. Sehingga hemat saya kolonialisme internal bukan hanya soal ekonomi ini juga soal hierarki budaya dan rasial terselubung.
Tidak mengherankan jika Casanova menyebut bahwa kelompok yang dikolonisasi dilekatkan citra sebagai terbelakang, tradisional, atau kurang modern hanya agar dominasi terhadap mereka terlihat tampak wajar.
Di Indonesia, stigma itu muncul dalam bentuk, Orang daerah dianggap tidak siap pembangunan, komunitas adat di pedalaman dianggap menghambat investasi, Petani atau nelayan tradisional dipandang tidak efisien, Masyarakat miskin kota disebut biang kemacetan.
Narasi ini membuat program-program pembangunan top-down tampak masuk akal, meski sering kali mengabaikan suara lokal, melucuti tanah adat, dan merusak ruang hidup masyarakat kecil. Kolonialisme internal bekerja bukan hanya dengan kekerasan fisik, tetapi dengan kekerasan simbolik membuat kelompok tertentu merasa rendah dan tidak berhak mengontrol nasib mereka sendiri.
Negara sebagai Kolonialis Baru
Pasca kemerdekaan, elite nasional menggantikan penjajah asing. Dalam konteks Indonesia, negara hadir dalam dua wajah, sebagai pelindung konstitusional, tetapi kadang sebagai agen yang memuluskan perampasan ruang hidup masyarakat lokal oleh korporasi besar.
Ketika izin tambang diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat, ketika tanah petani dicaplok atas nama proyek strategis nasional, Kita bisa lihat dalam kasus Rempang di Batam misalnya, tampak jelas aparat lebih sibuk mengamankan investasi daripada menjaga warga, maka kita menyaksikan apa yang disebut Casanova(1969) sebagai kolonialisme dalam bentuk kenegaraan.
Pemerintah pusat kadang bersama pemerintah daerah bertindak seperti tuan kolonial baru, menentukan apa yang layak, memutuskan apa yang boleh, dan mendefinisikan siapa yang maju dan siapa yang tidak. Dari Papua hingga NTB kolonialisme Internal Itu nyata.
Jika kita memetakan pola ini, kolonialisme internal terlihat pada beberapa wilayah di Indonesia, terutama Papua dengan eksploitasi tambang besar-besaran, tingkat kemiskinan kronis, dan kontrol militer yang kuat. Begitupun dengan Kalimantan, negara lebih fokus dan berpihak kepada pengusaha sebagai investor dibandingkan membela hak rakyat kecil agar tidak dieliminasi oleh HPH pengusaha.
Akibatnya terjadi deforestasi dan ekspansi sawit/pertambangan yang menggerus hak tanah adat. NTT dan NTB pun tragis mengalami situasi sulit yang sama, pembangunan pariwisata yang sering meminggirkan masyarakat lokal, maraknya konflik agraria, dan ketergantungan ekonomi tinggi pada pusat.
Sulawesi Tengah dan Tenggara, industrialisasi nikel yang timpang antara keuntungan perusahaan dan biaya sosial-ekologis lokal. Wilayah-wilayah ini menyumbang banyak kepada negara, tetapi menerima sedikit dibanding apa yang mereka berikan. Itulah definisi paling sederhana dari kolonialisme internal.
Jalan Keluar, Demokrasi Substansial dan Pengakuan Kedaulatan Lokal
Saya maupun Casanova percaya bahwa kolonialisme internal hanya dapat diatasi dengan redistribusi kekuasaan, bukan sekadar redistribusi ekonomi. Dalam konteks Indonesia, solusinya mencakup.
Pengakuan penuh terhadap masyarakat adat, Termasuk hak atas tanah, hutan, dan praktik budaya, desentralisasi fiskal yang adil. Dana besar harus kembali ke daerah penghasil sumber daya, bukan ke pusat secara tidak seimbang.
Demokratisasi ekonomi Wilayah kaya SDA harus memiliki saham kuasa dalam pengelolaan tambang, energi, dan pariwisata. Kolonialisme internal adalah cermin agar kita berani mengakui hal-hal yang tidak nyaman bahwa negara kita sendiri dapat menjadi pelaku penindasan.
Merdeka dari penjajah tidak otomatis membuat hubungan kuasa menjadi adil. Sebaliknya, elite nasional bisa saja mewarisi pola dominasi kolonial dan mempraktikkannya dengan dalih pembangunan. Indonesia punya potensi besar.
Namun potensi itu akan terus terkebiri jika sebagian wilayah diperlakukan seperti koloni internal yang hanya diminta berkontribusi tanpa pernah diberdayakan. Seperti pesan Casanova (1965) bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajah luar, tetapi juga membongkar kolonialisme yang hidup di dalam tubuh bangsa sendiri.
Wajah baru colonial internal semakin sering muncul di banyak institusi negara bahkan akademis lewat kepemimpinan yang otoriter anti kritik, suka eksploitasi dan mengalienasi hak-hak orang kecil.
Korupsi dana haji di kementrian agama menjadi contoh empiris praktek kolonialisme internal oleh anak bangsa sendiri, uniknya lagi jejaring korupsi ikut menjalar menular ke institusi penjaga benteng nilai yakni Kementrian Pendidikan RI dengan Nadim Makarim sebagai aktor utama.
Sehingga wajah asli penjajah internal bukan lagi dengan tampilan paras londo (belanda) tetapi pribumi tulen yang telah mati etika, hilang rasa dan akal karena nafsu. Ingat Oppresores Indigenae Hostes Veri Sunt. (para penindas dari dalam anak negeri adalah musuh sejati)
Editor : Purnawarman