Kolonialisme Internal, Saat Negara Menjadi Penjajah di Rumah Sendiri
Elite politik dan ekonomi seringkali bertindak dan seolah menjadi agen kolonial tetapi meminjam watak pribumi untuk menindas sesama lewat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Elite seolah telah kebal dari kecaman dan protes publik bahkan sistem hukum yang berlapis pun tidak mempan lagi memberi efek jera bagi elite agar berhenti korupsi.
Sistem politik dan hukum seringkali diakali oleh elite sebagai instrumen penindasan lewat praktek kriminalisasi terhadap lawan politik yang berseberangan dan kritis pada ketidakadilan penguasa. Pasca Indonesia merdeka 80 tahun yang lalu wajah baru kolonialisme internal meminjam istilah Sosiolog Pablo Gonzalez (1986) justru muncul dari gerbong politis busuk, kepala daerah korup, pejabat nepotis dan dinasti politik yang pro kolusi dan anti demokrasi.
Kolonialisme internal bukan orang asing yang datang menjajah dengan tank dan senjata lengkap tetapi penjabat dan elite pribumi yang sengaja dengan kekuasaan dan otoritasnya mendesain struktur hukum yang untungkan kaum borjuis, kebijakan ekonomi yang hanya untungkan oligarki, kebijakan investasi yang pro aseng, kebijakan impor yang untungkan pengusaha, dan kebijakan pendidikan yang komersil semakin kapitalis.
Mengutip Robert Blauner dalam Colonialism and Ghetto Revolt (1969) mengatakan bahwa kolonialisme tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk, berganti wajah, dan beroperasi di dalam tubuh negara bangsa itu sendiri.
Inilah yang ia sebut sebagai internal colonialism konsep yang sampai hari ini tetap relevan untuk menjelaskan ketidakadilan struktural, terutama di negara-negara pascakolonial seperti Indonesia yang gagal menyelesaikan warisan kolonialisme eksternal.
Bagi Blauner, internal kolonialisme adalah suatu pola dominasi yang menempatkan kelompok tertentu di dalam negara sebagai koloni internal, dipaksa berada dalam posisi subordinat melalui eksploitasi ekonomi, marginalisasi politik, dan kontrol budaya. Relasi pusat–pinggiran di dalam satu negara bekerja mirip dengan relasi kolonial dalam skala internasional.
Meskipun secara formal semua warga negara setara, secara substantif terdapat sebuah kelompok yang terus-menerus menerima perlakuan sebagai warga kelas dua. Seperti halnya Indonesia yang menerapkan pendekatan integrasi dan kohesi sosial yang cenderung dikendalikan oleh koloni mayoritas.
Editor : Purnawarman