LOMBOK TIMUR, iNewsLombok.id - Konflik pengusiran pemandu wisata (Guide) Lombok Tengah di Teluk Ekas oleh Bupati Lombok Timur Haerul Warisin menuai perhatian akademisi. Rektor Universitas Gunung Rinjani (UGR), Dr. Basri Mulyani, menilai insiden tersebut merupakan refleksi dari tidak adanya regulasi dan ekosistem pariwisata terpadu di wilayah pesisir.
Basri menyamakan kondisi Teluk Ekas saat ini dengan Gili Trawangan pada masa awal pengembangan pariwisata, di mana wisatawan dari Bali datang hanya untuk menyelam.
"Itu emosional saja. Bupati juga sudah memberikan klarifikasi. Dahulu bule ke Trawangan dari ujung Karangasem ke Trawangan hanya numpang diving, seperti itulah di Ekas hari ini, hanya saja ini dalam satu pulau," ungkapnya, Rabu (18/6/2025).
Usulan Pergub dan Perda Pariwisata NTB dari Akademisi
Basri menyarankan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, segera menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) untuk menciptakan tata kelola pariwisata berbasis ekosistem, yang kemudian diperkuat melalui Peraturan Daerah (Perda).
"Tapi kalau dibuat ekosistem pariwisatanya pasti bisa, karena konflik ini hanya soal pendapatan daerah dan soal pembagian kue kewenangan saja dalam pengelolaan laut sejak tak punya kewenangan daerah (kabupaten/kota)," tegasnya.
Dampak Sentralisasi Pengelolaan SDA Terhadap Daerah
Menurut Basri, sejak sumber daya alam seperti hutan, laut, dan tambang diambil alih oleh pemerintah pusat melalui skema PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), daerah hanya berharap dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang seringkali tidak proporsional dan tidak berkelanjutan.
"Sejak hutan, laut dan tambang dengan PNBP pusat, daerah hanya berharap bagi hasil dari proses resentralisasi (belas kasihan) pusat ketika telah dibagi-bagi itu barang," ujarnya.
KKLD Sebagai Solusi Konservasi dan Penguatan Ekonomi Daerah
Basri menekankan bahwa upaya mengintegrasikan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat dimulai dengan membangun Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Inisiatif ini bisa dimulai oleh gubernur dengan mengeluarkan Pergub sebelum dilanjutkan ke pembentukan Perda.
"Salah satunya adalah inisiatif KKLD. Ini bisa dilakukan oleh Pak Gubernur dengan Pergub dulu, nanti baru lanjut dengan Perda," sarannya.
Keterbatasan Daerah dalam Mengelola Zona Laut dan Hutan
Ia juga mengkritisi UU 23/2014 dan UU Cipta Kerja, yang semakin menyulitkan daerah dalam mengelola zona tangkap ikan dan kawasan ekologi, karena wewenangnya dikuasai oleh pusat.
"Belum lagi kita bicara soal zona tangkap ikan ini, yang daerah tak punya kewenangan. Ruwet UU 23/2014 sama Cipta Kerja itu," jelas Basri.
Sebagai contoh, ia menyebut konflik antara sektor pariwisata dan industri di tiga gili di Lombok Timur: Gili Kondo, Gili Petagan, dan Gili Bidara, yang kini dibayangi oleh ekspansi PLTU dan tambak udang.
Teluk Ekas kini masuk dalam nominasi pengembangan destinasi wisata baru dalam Rencana Induk Pariwisata NTB 2025–2030.
Berdasarkan data Dispar NTB, jumlah kunjungan wisatawan domestik ke Ekas meningkat 42% selama semester pertama 2025.
Kawasan Ekas telah ditetapkan sebagai zona prioritas pengembangan wisata bahari oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak awal 2024.
Penelitian LIPI 2023 menyebutkan bahwa kawasan Teluk Ekas memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan cocok untuk pengembangan ekowisata konservasi.
Pemerintah provinsi sedang menyusun Rencana Aksi Terpadu Pengelolaan Pesisir, yang akan memuat skema pembagian kewenangan lintas kabupaten/kota.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait