Putusan PTUN Batal, KPU RI Banding soal Pemberhentian Komisioner Lombok Timur Zainul Muttaqin

"Begitu sudah ada putusan, KPU RI kelabakan. Upaya hukum banding justru mempertegas kesalahan yang dilakukan oleh KPU RI, melantik PAW ketika proses hukum di PTUN sedang berlangsung. Tapi apapun itu, kita akan lawan!" tegasnya.
Kasus ini bermula dari putusan DKPP Nomor 187/2024 dan 262/2024, yang menyatakan Zainul melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Berdasarkan putusan tersebut, KPU RI menerbitkan SK Pemberhentian Tetap Nomor 245 Tahun 2025 pada 7 Maret 2025.
Zainul sempat mengajukan surat keberatan pada 14 Maret 2025, namun tidak mendapat respons. Akhirnya, ia menggugat ke PTUN Jakarta pada 9 April 2025 dengan nomor perkara 124/G/2025/PTUN.JKT.
Meski proses hukum masih berjalan, KPU RI tetap melantik Pengganti Antar Waktu (PAW) anggota KPU Lombok Timur pada 25 Juli 2025. Padahal, Majelis Hakim PTUN sebelumnya telah menegur KPU agar menghormati asas kepastian hukum.
Dalam putusannya, Hakim menilai:
Zainul tidak diberikan kesempatan menghadirkan saksi atau ahli secara mandiri, melanggar Pasal 31 ayat (1) dan (4) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2021.
Pemberhentian tetap tanpa proses pembuktian setara bertentangan dengan asas audi et alteram partem (dengar kedua belah pihak).
Putusan DKPP yang dijadikan dasar SK KPU RI mengandung cacat hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PTUN Jakarta memutuskan untuk membatalkan SK KPU RI Nomor 245/2025, memerintahkan pencabutannya, serta merehabilitasi kedudukan Zainul.
Meski kalah, KPU RI tidak tinggal diam. Dengan mengajukan banding, proses sengketa ini akan berlanjut ke tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Jika masih ada perbedaan pendapat hukum, bukan tidak mungkin perkara ini akan berlanjut hingga ke Mahkamah Agung (MA).
Sengketa KPU seringkali berujung pada putusan pengadilan karena adanya tarik-menarik antara keputusan etik DKPP dan kewenangan administratif KPU RI.
Putusan PTUN bersifat mengikat, namun belum final apabila masih ditempuh upaya hukum lanjutan.
Kasus ini berpotensi menjadi yurisprudensi penting dalam tata kelola lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
Editor : Purnawarman