Praperadilan Sebagai Upaya Korektif Penegakan Hukum
Djohan, bagian dari Tim Advokat Rakyat, menjelaskan bahwa langkah praperadilan ini bukan hanya untuk memperoleh keadilan bagi kliennya, namun juga sebagai koreksi terhadap proses hukum agar aparat lebih teliti dalam menangani perkara.
“Klien kami kesehariannya sebagai penjaga tempat ibadah. Kerugiannya tidak bisa dihitung secara material karena tidak menerima upah tetap. Ini menyangkut hak privat yang dilanggar,” tegas Djohan.
Dalam petitum tuntutannya, Ida Made Singarsa menuntut ganti rugi sebesar Rp455 juta, dan meminta pembayaran dilakukan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 92 Tahun 2015, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Sanggahan Atas Tuduhan Mafia Tanah
Lebih lanjut, Djohan menyayangkan pernyataan Kabiro Hukum Pemprov NTB yang mengaitkan putusan bebas kliennya dengan dugaan keterlibatan mafia tanah.
“Saya menyayangkan adanya oknum Kabiro Hukum yang menyebutkan adanya permainan mafia tanah. Itu statemen blunder. Padahal putusan bebas sudah sah dan seharusnya dihormati,” ucap Djohan.
Namun ia memaklumi pernyataan tersebut sebagai bentuk kegelisahan pihak Pemprov NTB yang sebelumnya sangat yakin Ida Made akan divonis bersalah dan dapat dijadikan novum untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) ke-2 dalam perkara sengketa lahan Gedung Wanita dan Bawaslu di Jalan Udayana, Kota Mataram.
Peran Praperadilan dalam Hukum Indonesia
Praperadilan merupakan mekanisme hukum yang memberikan hak bagi seseorang untuk menguji keabsahan proses penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, hingga ganti kerugian.
Hal ini diatur dalam Pasal 77 KUHAP dan diperkuat dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang menjamin hak sipil dan keadilan bagi warga negara yang dirugikan oleh tindakan aparatur penegak hukum.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait