"Jadi kalau kesalahan administratif maka menjadi tanggung jawab jabatan, dalam hal ini posisinya sebagai bupati kala itu," ujarnya.
Kemudian, jika dari sisi pidana maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab personal bukan jabatan. Namun untuk menemukan unsur pidana, harus ada kesalahan pidana yang dilakukan, seperti suap, gratifikasi atau pemalsuan surat.
"Pertanyaan, apakah dalam case ini ada suap atau gratifikasi terjadi. Apa ada pemalsuan surat? Kalau ada, unsur itu ranahnya pidana. Jadi ada tanggung jawab pidana (pribadi)," paparnya.
Namun, jika bawahan menerima suap maka tidak bisa dibebankan tanggung jawab kepada bupati atau Mardani.
"Penyertaan (deelneming) tidak bisa serta merta jika tidak ada hubungan kausalitas (sebab akibat)," ujarnya.
Prof Amiruddin juga menjelaskan, jika kasus tersebut digeret ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka harus jelas apa kesalahan yang dilakukan Mardani.
Dijelaskan juga, ada Putusan MK mengenai TPPU. Dalam UU TPPU disyaratkan tidak mesti terbukti terlebih dahulu predikat crime (tindak pidana asal). MK mengatakan jika mengikuti pasal 69 TPPU tidak perlu predikat crime.
"Penuntut umum diwajibkan untuk mengajukan dakwaan bersama dakwaan pokok (subsideritas)," ujarnya. Terakhir, Direktur Pojok NTB, Fihiruddin, mengatakan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, banyak sekali kejadian atau kasus kriminalisasi terhadap masyarakat yang melibatkan pengusaha.
Bahkan, ironisnya aksi premanisme tersebut tidak pernah tuntas diusut aparat penegak hukum di wilayah tersebut. Seperti contoh, ada seorang guru melakukan unjuk rasa terhadap kendaraan tambang yang melintas di dekat SD tempat dia mengajar.
Perjanjiannya, pihak pengelola tambang harus menyiram jalan yang dilalui terlebih dahulu agar debu tidak bertebaran. Namun ironisnya, saat menghadapi demo guru, justru sekitar lima preman membawa senjata tajam membubarkan unjuk rasa.
"Sayang sekali ada seorang guru yang lari ke rumah temannya. Dia dibunuh di sana dengan 19 kali luka tusuk," katanya.
Lebih ironis lagi, preman yang melakukan pembunuhan hanya divonis empat bulan penjara. Sisanya divonis tujuh hari.
Lebih ironis, dalang pembunuhan tidak pernah diusut. Ada juga pemilik lahan yang lahannya dilalui kendaraan pengangkut material tambang.
Awalnya disepakati setiap bulan akan dibayar oleh seorang pengusaha berinisial HI. Namun pada suatu hari, dia disuruh mengambil uang ke rumah HI.
"Sepulang ambil uang, dia dibunuh dengan tusukan," ujarnya.
Itu hanya beberapa kasus dari banyaknya kasus kriminalisasi di sana yang melibatkan pengusaha tambang. Ironisnya, otak dari pelaku tidak tersentuh. Ini mengindikasikan aparat penegak hukum berpihak ke pengusaha.
"Hukum di negara kita saya meyakini sangat bisa dibeli oleh orang bermodal," kata Fihir.
Budi Wawan selaku penyelenggara diskusi, berharap melalui diskusi tersebut dapat melahirkan pandangan hukum yang objektif terhadap kasus yang menjerat Mardani H Maming.
"Kita berharap dari diskusi tersebut menghasilkan pandangan-pandangan hukum yang objektif terhadap kasus tersebut," ujarnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait