SJP melanjutkan, dahulu, ketika awal rencana pemindahan IKN ini digulirkan, pemerintah gembar gembor bahwa pendanaan IKN tidak akan membebani APBN, dan akan banyak melibatkan swasta serta investor.
Namun kini setelah terdengar kabar ada investor kakap yang mundur, maka isu terkait pendanaan IKN ini menjadi semakin tidak jelas.Dulu pemerintah menyebut dari total Rp 466,9 triliun dana yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN, hanya 20% yang merupakan porsi APBN. Namun belakangan berhembus kabar bahwa porsi APBN berubah menjadi 53,5 persen. Untuk Tahun Anggaran 2023 sendiri rencananya akan dialokasikan sebesar Rp 30 triliun.
" FPKS sendiri menolak penggunaan APBN yang besar itu untuk pembangunan IKN. Sebab dana sebesar itu akan lebih bermanfaat untuk pemulihan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan, dimana menurut data BPS jumlah kemiskinan meningkat sebanyak 2,7 juta orang selama pandemi," tegas SJP.
Terkait persoalan ini FPKS pun mengusulkan agar dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek padat karya di KemenPUPR yang jumlahnya pada TA 2022 ini justru mengecil dibandingkan TA 2021. Dimana pada TA 2021 anggaran program padat karya di KemenPUPR adalah sebesar Rp 24,27T, sedangkan di TA 2022 ini menyusut sekitar 41,3 persen menjadi hanya Rp 13,64T.
Hal ini tentunya membawa dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja padat karya dimana pada TA 2021 ditargetkan bisa menyerap 1,23 juta orang, di tahun ini targetnya menyusut menjadi hanya sekitar 665 ribu orang saja.Oleh sebab itu, kata SJP.
FPKS berharap Pemerintah mewujudkan janjinya bahwa pembangunan IKN tidak akan memberatkan APBN. FPKS juga memandang perlu adanya raker antara DPR dengan para Menteri terkait agar masalah anggaran pembangunan IKN ini segera menjadi jelas.
FPKS juga mengajak masyarakat termasuk mahasiswa yang demo kemarin untuk tolak IKN ini, karena hal ini menjadi suatu kemubaziran yang besar. Sebab pembangunan IKN ini adalah sebuah megaproyek yang kurang bermanfaat untuk pemulihan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan bahkan cenderung menjadi beban negara untuk saat ini.
Editor : Purnawarman