Dana Siluman di DPRD Provinsi NTB dan Kebuntuan Budaya Politik Kita
Demokrasi yang digadang sebagi tonggal yang menghadirkan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan publik makin kehilangan substansi karena maraknya praktek gartifikasi, korupsi dan permainan nepotisme.
Suasana birokrasi politik di parlemen tidak ubahnya seperti industri kepentingan publik berbayar dan kita seperti kembali mundur seperti hidup di zaman penjajah, apapun pelayanan yang berurusan dengan kekuasan dan pejabat wajib ada upeti.
Anehnya sudah 80 tahun merdeka pun patologi birokrasi ini belum hilang bahkan makin kokoh menjadi tradisi buruk birokrasi. Hal ini bisa dicermati dari berita-berita terkait praktek korupsi, gratifikasi dan permainan politik anggaran yang licik dan culas di tubuh parlemen Indonesia terus viral, seolah-olah saling bersahut-sahutan sebagai sebuah resonansi ritmik yang sama dari parlemen pusat menjalar hingga daerah.
Problem fundamental parlemen kita belum beranjak jauh dari masalah klasik seperti korupsi, jual beli pokir dan gratifikasi. Kasus teranyar tentu saja soal polemik gratifikasi dan dana siluman yang menjerat sejumlah oknum politisi muda di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kasus ini seolah kembali membuka tabir gelap adanya relasi kuasa timpang dan permainan culas politik anggaran dalam politik lokal di NTB. Anggaran yang muncul tanpa jejak pembahasan resmi bukan sekadar persoalan teknis birokrasi, melainkan cermin dari struktur politik yang bekerja di balik layar.
Publik di NTB pun seketika gempar saat tiga oknum anggota DPRD Provinsi resmi ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi.
Saya tidak ingin menyebutkan nama dan partai karena beritanya sudah menyebar luas dan publik di NTB pastinya sudah tahu.
Editor : Purnawarman