get app
inews
Aa Text
Read Next : Viral Ancaman di Grup WhatsApp: Tuduhan Jual-Beli Pokir Berujung Laporan Polisi

Dana Siluman di DPRD Provinsi NTB dan Kebuntuan Budaya Politik Kita

Minggu, 14 Desember 2025 | 12:51 WIB
header img
Dr Alfisahrin. istimewa

Dr. Alfisahrin, M.Si
Dosen di Universitas Bima Internasional-MFH dan Staf ahli di DPD RI

Sunami korupsi dan praktek gratifikasi kini tengah mendera dan menggerogoti banyak tubuh parlemen di Indonesia sehingga menyebabkan sejumlah anggota parlemen tersandera dalam pusaran kasus hukum. Praktek gratifikasi seperti yang kini  terjadi di DPRD NTB, sebenarnya bukan hal baru dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia.

Itu penyakit lama yang telah berurat akar dalam tubuh institusi pelayanan birokrasi pemerintah, praktek gratifikasi telah menjadi cara kuno dan purba dalam kekuasaan politik di parlemen hanya saja baru terungkap dan diketahui publik. Bukan rahasia umum lagi  jika patologi birokrasi seperti kebiasaan setor fee oleh kontraktor dan tarik fee proyek oleh oknum politisi agar dapat paket proyek sampai  kini masih eksis  dan mengendap rapi dalam struktur jaringan kekuasaan.

Mind set apparatus birokrasi dan politisi  kita kebanyakan  tidak jauh dari urusan  transaksi, ambil untung dan balik modal politik. Sebenarnya ini merupakan  implikasi dari politik berbiaya tinggi (high cost ) dalam pileg dan pilkada 
Dalam politik yang serba pragmatis dan transaksional di era kontemporer saya melihat bahwa kekuasaan telah menjadi industri korporate  yang dikelola elite untuk menghasilkan lebih banyak uang karenanya tidak ada yang gratis.  

Setiap pelayanan publik yang diproduksi dari dapur parlemen selalu ada harga, tarif dan fee-nya. Publik pun tidak benar-benar dilayani karena tugas etik anggota parlemen karena faktanya akses kekuasaan nyaris serba berbayar.

Pokir misalnya kini menjadi  lahan bisnis bukan lagi aspirasi, saran, dan kebutuhan pembangunan publik. Akibatnya esensi politik sebagai pengaturan urusan dan kepentingan publik berubah menjadi arena pertarungan kepentingan bisnis ekonomi elite yang diperdangangkan menjadi sekedar soal receh  transaksi.

Demokrasi yang digadang sebagi tonggal yang menghadirkan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan publik makin kehilangan substansi karena maraknya praktek gartifikasi, korupsi dan permainan nepotisme.

Suasana birokrasi politik di parlemen tidak ubahnya seperti industri kepentingan publik berbayar dan kita seperti kembali mundur seperti hidup di zaman penjajah, apapun pelayanan yang berurusan dengan kekuasan dan pejabat wajib  ada upeti.

Anehnya sudah 80 tahun merdeka pun patologi birokrasi ini belum hilang bahkan makin kokoh menjadi tradisi buruk birokrasi.  Hal ini bisa dicermati dari berita-berita terkait praktek  korupsi, gratifikasi dan permainan politik anggaran yang licik dan culas di tubuh parlemen Indonesia terus viral, seolah-olah saling bersahut-sahutan sebagai sebuah resonansi ritmik yang sama dari parlemen  pusat menjalar hingga daerah.
 
Problem fundamental parlemen kita belum beranjak jauh dari masalah klasik seperti korupsi, jual beli pokir dan gratifikasi. Kasus teranyar tentu saja soal  polemik gratifikasi dan dana siluman yang menjerat sejumlah oknum politisi muda di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kasus ini seolah  kembali membuka tabir gelap adanya relasi kuasa timpang dan permainan culas politik anggaran dalam politik lokal di NTB.  Anggaran yang muncul tanpa jejak pembahasan resmi bukan sekadar persoalan teknis birokrasi, melainkan cermin dari struktur politik yang bekerja di balik layar.

Publik di NTB  pun seketika gempar saat tiga oknum anggota DPRD Provinsi resmi  ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi.
Saya tidak ingin menyebutkan nama dan partai karena beritanya sudah menyebar luas dan publik di NTB pastinya sudah tahu.

Keduannya wakil rakyat ini selain kenal dekat, saya pun tidak ingin terkesan menyorotnya secara personal melainkan fokus pada sistem dan budaya politik yang berlaku di parlemen. Awal kasus ini tentu hanya menjadi rumors dan publik di NTB  enggan percaya namun, keyakinan publik semakin mengarah dan terbentuk menjadi semacam keyakinan impulsif  yang menguatkan indikasi bahwa benar adanya praktek gratifikasi di tubuh anggota DPRD Provinsi NTB

Eks anggota DPRD sebelumnya TGH.H. Najamudin menjadi tokoh sentral yang pertama kali membuka kotak pandora dana siluman tersebut, dan dengan lantang berani menyuarakan kasus tersebut di berbagai podcast dan platform media. Dalam  kasus dana siluman ini, terungkap adanya  tarikan kuat budaya politik patronase (balas budi dan balas jasa ) aktor yang memiliki  jejaring informal yang bekerja dibalik layar sistem dan menjadi pengatur yang mengendalikan ritme dan proses-proses politik secara terselubung di parlemen dan eksekutif,  mengutip Thomas Carlile mereka disebut The Big Man (orang besar).  

Saya pikir dalam banyak pemerintahan daerah, termasuk sistem penganggaran di NTB sejatinya mengutip istilah Imanuel Kant (2003) tidak an sich dilihat  hanya sebagai proses administratif yang bersifat normatif dan formil tetapi dalam budaya penganggaraan di parlemen  dan eksekutif, pembahasan anggaran adalah arena negosiasi, akomodasi dan saling kompromi sengit yang melibatkan komitmen politik, kepentingan ekonomi, dan loyalitas jaringan.  

Anggota DPRD dan eksekutif daerah bergerak dalam dua panggung meminjam istilah Ervin Goffman(1956) dalam The presntation of Self in Every day life, yakni  panggung depan (front stage)  yang dipenuhi rapat formal, diskusi, dan lobi-lobi. Sedangkan yang paling menentukan dari semua keputusan yang akan diambil terutama proyek, fee dan deal-deal anggaran ada di panggung belakang (back stage), di tempat belakang inilah transaksi kepentingan terselubung anggota DPR berlangsung mulus dan transaksional.
 
 
 Dana siluman di NTB pun saya kira muncul misterius dari deal di panggung kedua yakni panggung belakang sebuah dunia abu-abu (grey area) yang jarang tersorot publik tetapi menjadi penentu distribusi sumber daya politik.
Dalam disertasi saya tentang budaya politik patronase kiai di NTB (2022) saya menemukan bahwa tradisi politik lokal NTB belum mengalami proses transisi dan transformasi yang jauh dari budaya politik patronase (balas jasa dan kultus figur). 

Sampai kini saya masih menemukan fakta bahwa di NTB masih ada struktur, jaringan, dan instrumen politik yang menonjolkan basis-basis komunalitas.  Sehingga politisi sering dibebani ekspektasi sebagai penyalur berkah  bagi kelompok, klan keluarga besar, organisasi atau basis pemilihnya.

Di sinilah logika patron–klien bekerja. Setiap proyek yang dikerjakan anggota DPR dari partai atau kader oraganisasi keagamaan tertentu dianggap bukan semata pembangunan, melainkan bukti kekuasaan dan alat mempertahankan pengaruh dan soliditas kelompok. Tak mengherankan jika ada anggaran yang tiba-tiba bisa diselipkan di menit-menit akhir, demi memuaskan jaringan politik tertentu yang menuntut jatah dari tiket kekuasaan yang telah diberikan.

Sebenarnya kalau mau jujur kasus dana siluman dan praktek gratifikasi di NTB  dapat saya sebut sebagai masalah klasik saja, artinya sudah menjadi praktek yang lazim di banyak parlemen Indonesia hanya baru terungkap di NTB. Tetapi polanya di NTB memperlihatkan bagaimana birokrasi dapat menjadi lentur ketika berhadapan dengan tekanan kekuasaan dari anggota parlemen.

Dokumen pun bisa seketika berubah, nomenklatur pun ikut bertambah, dan angka-angka muncul tanpa jejak risalah rapat yang jelas. Semua berlangsung dalam narasi demi percepatan pembangunan daerah sementara mekanisme formal dipinggirkan dengan sengaja. Dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar kekacauan anggaran.

Kasus dana silumen dan gartifikasi anggota DPRD Provinsi NTB, terus terang sangat melukai rasa keadilan publik dan seketika  menggerogoti bangunan kepercayaan publik terhadap kesucian marwah lembaga legislatif. Warga mempertanyakan bagaimana wakil mereka bisa begitu mudah menyisipkan anggaran tanpa prosedur. Namun bagi sebagian elit, praktik ini dianggap hal biasa (banal) meminjam istilah Hannah Arrendt.

Warisan politik patronase yang tak pernah tidur

Dalam kultur politik yang masih kental dengan budaya  patronase seperti di NTB, soal transparansi dan akuntabilitas anggaran politik bukan prioritas karena yang dianggap paling penting adalah menjaga jaringan dan memastikan aliran manfaat dari kekuasaan tetap hidup bagi kelompok.  Pada konteks inilah antropologi politik memberi peringatan keras bahwa  jika relasi patronase masih terus bercokol di NTB dan platform politik indonesia.

Kasus  dana siluman dan gartifikasi  akan terus berulang dan menemukan momentumnya. Meskipun, ada feformasi anggaran tetapi bagi saya tidak cukup hanya dengan modal  audit dan sanksi administratif. Yang diperlukan adalah perubahan radikal mind set dari budaya politik.

Bagaimana itu dimulai dan dilakukan, saya kira  public   perlu membuka akses publik terhadap seluruh proses penganggaran, serta mengurangi ketergantungan politisi pada jaringan patron yang menuntut balas budi. Lanskap politik NTB orientasi etiknya harus diubah  dari ketergantungan kepada patron ke perilaku politik yang rasional, deliberatif yang bersandar pada akuntabilitas, bukan negosiasi gelap di ruang tertutup.

Batin politik publik kian terluka setelah tahu bahwa sekitar 15 orang anggota DPRD Provinsi ikut diperiksa massal oleh kejaksaan untuk menelusuri aliran dana dan dari mana sumber dana diperoleh. Sehingga degup jantung dari mereka sebagai yang terperiksa semakin kencang karena ada indikasi bertambahnya jumlah tersangka kasus gratifikasi dana siluman.  

Publik di NTB benar-benar dikejutkan oleh angka-angka yang tiba-tiba ada di tangan oknum anggota DPRD penerima dana siluman seolah uang tersebut, muncul dari ruang gelap birokrasi yang sengaja  diorkestrasi secara apik  oleh seseorang yang memberi perintah direktif. Tugas penegak hukum adalah mengungkap adanya bukti relasi kuasa otentik antara patron dan klien  yang memberi dan menerima dari oknum anggota DPR.

Namun, bagi saya sebenarnya, kasus ini sebenarnya tidak mengejutkan karena hanya  mengulang cerita lama yang sama terjadi pada  banyak rumah parlemen di indonesia. Kasus dana siluman di NTB ini sejatinya adalah cerita pilu tentang budaya politik kita yang tidak kunjung dewasa dan tentang budaya politik patronase yang terlalu kuat berurat akar dalam tubuh eksekutif dan parlemen.

Mekanisme kekuasaan di parlemen ternyata lebih banyak yang beroperasi licik di belakang layar ketimbang transparan di muka umum. anggaran publik diperlakukan seperti barang dagangan yang bisa ditukar, diselipkan, atau dinegosiasikan di luar ruang rapat resmi.

Pemerintah dan DPRD NTB sering tersengar berbicara lantang  tentang meritokrasi dan akuntabilitas, DPRD dan eksekutif sering mengadakan rapat dengar pendapat, pembahasan komisi, dan paripurna. Tetapi prosedur itu hanya berisi formalitas di panggung depan.

Namun, ujung-ujungnya Keputusan diambil dan disepakati lewat panggung belakang, Sehingga dalam lensa antropologi politik, fenomena dana siluman di NTB  tidak berdiri sendiri tetapi berakar dari pola relasi sosial dan budaya kekuasaan patronase (balas jasa/budi)yang telah lama melekat dalam politik lokal NTB. Banyak pejabat daerah mungkin membantah bahwa praktik patronase masih kuat.

Namun di lapangan, patronase adalah oksigen politik dan di NTB patronase menjadi sumber legitimasi, kekuatan, dan pertukaran sumber daya politik. Dalam konteks dan struktur masyarakat NTB yang memiliki ikatan komunal yang kuat melalui ikatan kekerabatan besar, jaringan pesantren, figur lokal, atau kelompok adat seorang politisi dituntut memenuhi ekspektasi yang tidak selalu tercatat dalam dokumen resmi. Ekspektasi itu sederhana.

Politisi harus membawa pulang sesuatu bagi patron, klan, organisasi dan kelompok. Sumber daya politik diukur dari kemampuan mereka mengakses anggaran, mengamankan proyek, atau menyalurkan program.
Dalam logika politik patron klien  seperti ini, anggaran publik adalah alat untuk menjaga loyalitas.

Inilah mengapa anggaran tiba-tiba bisa muncul. Tidak selalu karena kesengajaan jahat, tetapi karena adanya tekanan sosial-politik untuk memberikan jatah kepada kelompok tertentu. Jaringan politik yang menopang karier seorang anggota dewan membutuhkan aliran manfaat yang kontinu. Tanpa itu, loyalitas mudah bergeser.

Dalam situasi seperti ini, transparansi bukan hanya dilanggar ia dinilai berbahaya. Membuka seluruh proses anggaran bisa merusak keseimbangan patronase yang rapuh. Karena itulah mekanisme informal tetap dipertahankan, bahkan ketika formalitas birokrasi semakin rapi.

Anatomi Kekuasaan Dua Panggung Ala Goffman dan Scott

James Scott, antropolog politik terkemuka, membedakan dua panggung kekuasaan yang disebutnya public transcript dan hidden transcript dalam konteks relasi kekuasaan. Publik transcript adalah apa yang diperlihatkan politisi kepada publik seperti rapat, pembahasan anggaran, pidato, dokumen, pernyataan pers.

Sedangkan hidden transcript adalah apa yang benar-benar terjadi di belakang layar dan panggung yakni negosiasi politik, transaksi kepentingan, alokasi jatah, atau  persekongkolan diam-diam. Dalam kasus NTB, pembahasan anggaran adalah panggung depan. Di sini segala sesuatu tampak normatif dan prosedural.

Namun panggung belakanglah yang menuntun hasil akhirnya yakni bagi-bagi uang dana siluman ke sejumlah anggota DPR. Panggung belakang biasanya tidak memiliki risalah, tidak direkam, dan hanya diketahui oleh sedikit elit politik dan birokrat tertentu. Setiap anggaran yang disisipkan menit-menit terakhir bukan semata kesalahan teknis, tetapi tanda sebuah kesepakatan yang terjadi di luar mekanisme resmi.

Sering kali, panggung depan hanya berfungsi melegitimasi keputusan yang sejatinya telah dibuat di belakang layar. Pertanyaanya logik dan sederhana saya, benarkah uang yang dibagi-bagi ini adalah dana siluman yang tidak bertuan.

Saya kira mustahil, uang gratifikasi yang dibagi-bagi pasti ada dan jelas sumber asal muasalnya hanya memang ada yang enggan bicara jujur dan sengaja memilih bungkam untuk melindungi patron meski klien harus menjadi korban. Kasus ini menjadi kontras dengan ide transparansi, akuntabilitas birokrasi dan spirit meritokrasi di NTB.

Dalam banyak kasus, seringkali urusan birokrasi tidak hanya tunduk pada tekanan politik publik saja tetapi juga pada aktor-aktor informal yang berada di balik panggung megah birokrasi. Pemerintah daerah, terutama yang posisinya terkait dengan anggaran, memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan legislatif.

Jika hubungan itu retak, proses anggaran bisa terganggu dan saling menyandera dan  jika terlalu dekat, integritas prosedur bisa dilanggar.  Di NTB dan banyak daerah lain, birokrasi telah berkembang menjadi entitas yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika kekuasaan.

Mereka bisa saja menghapus, mengubah, atau menambahkan nomenklatur anggaran, selama perubahan itu selaras dengan arahan informal dari tokoh dan pihak yang berpengaruh. Bahkan, perubahan itu bisa dibungkus dengan justifikasi teknis yang sulit dipertanyakan oleh publik awam. Ketika birokrasi menjadi lentur, batas antara kewenangan politis dan teknokratis menghilang. Anggaran tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan pembangunan, tetapi oleh negosiasi kepentingan.

Normalisasi yang Mengkhawatirkan, Solusi  dan menata ulang  budaya Politik, Bukan Hanya Sistemnya

Ada satu aspek yang jarang dibahas dalam kasus dana siluman dan gratifikasi di NTB, tetapi justru paling mengkhawatirkan yakni luasnya sikap normalisasi baik dari elite politik bahkan sebagian publik. Banyak politisi dan warga daerah kini memandang penyisipan anggaran sebagai hal yang biasa dalam proses politik.

Gratifikasi dan anggaran siluman  dipahami sebagai konsekuensi dari dinamaika demokrasi lokal yang belum matang, dan karenanya masih dianggap lumrah padahal ini adalah perilaku politik abnormalitas yang menjadi kejahatan komunal sistemik akut di parlemen . Narasi sudah  ‘biasa begitu’ bagi saya tidak etis dan merupakan penghianatan terhadap mandat, amanah publik dan pembangkangan terhadap hukum yang dapat merusak etika demokrasi.  

Kasus gratifkasi anggota DPRD Provinsi NTB semakin menggerus wibawa parlemen dan membuat kepercayaan publik makin rendah berada dititik nadir terhadap  anggota DPR.
Tidak heran publik jika kian apatis dan meniupkan isu serta wacana miring pembubaran DPR karena faktanya terbukti bahwa dapur inti kekuasaan parlemen sering  menghembuskan asap dan aroma pengap kolusi, korupsi dan gratifikasi.

Tidak heran jika publik banyak yang anti DPR bahkan penjarahan di rumah politisi nasional Uya Kuya, Nafa Urbach dan Eko Patrio secara semiotika politik dapat bermakna sebagai puncak akumulasi kekecewaan dan kemarahan publik pada DPR. Normalisasi terhadap kasus gratifikasi di DPRD NTB yang membuat kesan seolah  penyimpangan dianggap wajar.  Tentu saja berbahaya karena dapat  membentuk opini generasi baru bahwa praktik anggaran gelap adalah bagian dari survival politik.

Kultur seperti ini  jika terus bertahan akan jauh lebih sulit diubah dibandingkan persoalan teknis sistem. Auditor mungkin bisa memperbaiki angka,  penegak hukum bisa menindak pelanggaran hukumnya. Namun mengubah budaya yang sudah terlanjur mengakar membutuhkan waktu, keberanian, dan tekanan publik yang konsisten dari elite.

Anggaran siluman yang muncul tanpa pembahasan seperti pada kasus gratifikasi anggota DPRD Provinsi NTB sudah pasti  memiliki efektivitas yang rendah karena memang sengaja dibuat bukan berdasarkan kebutuhan utama  publik, tetapi kebutuhan politik segelintir elite saja. Demikian, juga dengan pengerjaan proyek dana pokir DPR  faktanya jarang berumur panjang.

Mengapa, karena orientasinya bukan kualitas tetapi keuntungan. Jarang proyek-proyek pembangunan publik dari dan pokir yang dikerjakan secara transparan. Praktek instransparansi telah menjadi semacam habitus kelembangaan di parlemen.

Sehingga dalam konteks dana siluman di DPRD Provinsi NTB mengapa terjadi dan akan cenderung menjadi siklus yang berulang. Bagi saya jawabannya karena kita hanya memperbaiki gejala (fenomena) dipermukaan, bukan akar masalahnya.

Selama budaya patronase (balas jasa dan balas budi) tidak disentuh, sistem penganggaran internal tidak didesain transparan, dan akomodasi kepentingan pihak informal tidak dibatasi. Saya yakin reformasi anggaran yang dilakukan di parlemen  tidak akan pernah efektif.

Menurut saya ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan jika NTB ingin keluar dari lingkaran ini. Regulasi dapat diperketat, tetapi tanpa perubahan budaya, aturan hanya menjadi formalitas.

Pendidikan politik berbasis komunitas perlu diperkuat agar warga memahami fungsi anggaran dan hak mereka. untuk mengawasinya. Membuka proses penganggaran dari proses awal hingga akhir secara transparan. Dokumen harus tersedia publik sejak tahap perencanaan, bukan hanya setelah menjadi APBD.

Setiap perubahan harus terdokumentasi lengkap. Teknologi dapat membantu, tetapi komitmen politik jauh lebih penting. Kasus dana siluman di parlemen NTB adalah peringatan keras bahwa demokrasi lokal kita belum berada di jalur yang benar.  

Selama panggung belakang (back stage)masih menentukan mayoritas keputusan politik, selama patronase menjadi penentu alokasi anggaran, dan selama warga tidak diberi ruang untuk mengawasi secara penuh, praktik-praktik ini akan terus berulang. Dana siluman yang kini trending di NTB bukan sekadar istilah popular  tetapi  patologi institusi yang telah mentradisi akut di parlemen.
 

Editor : Purnawarman

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut