Matinya Ideologi Partai Politik di Indonesia
Rakyat lelah dengan pertarungan doktrin besar; pemerintah beralih pada teknokrasi, politik mengejar solusi, bukan keyakinan. Namun, dalam banyak hal, apa yang disebut Bell (1960) sebagai matinya ideologi justru menemukan wujud yang paling telanjang di Indonesia hanya saja dengan konsekuensi yang jauh lebih problematis.
Di sini, kematian ideologi bukan hasil kedewasaan politik, melainkan kelumpuhan komitmen. Bukan karena kita telah melampaui pertarungan gagasan, tetapi karena gagasan itu tak pernah benar-benar menjadi fondasi kekuasaan.
Indonesia adalah negara yang mengaku berideologi. Pancasila menjadi rujukan moral tertinggi, partai-partai politik menjejalkan istilah nasionalis, religius, atau kerakyatan pada nama dan dokumennya, semua menyatakan berpihak pada rakyat. Tetapi, seberapa besar ideologi itu mempengaruhi keputusan politik, hampir tidak ada.
Ideologi yang Hanya Tinggal Nama dan Pragmatisme yang Menubuh Tanpa Etika
Antropolog Clifford Geertz (1973) dalam antroplogi interpretatif mendefinisikan ideologi sebagai sistem simbol untuk memberi makna terhadap tindakan politik. Artinya ideologi berperan aktif memberi arah dan orientasi politik yang jelas bagi partai dan menjadi peta budaya untuk bergerak di dalam menjalankan peran sosial seperti pembentukan solidaritas, keberpihakan terhadap nasib publik dan pembelaan pada marginalisasi negara pada rakyat kecil.
Banyak partai rela gadaikan akar historis ideologinya karena terjebak pada ritme permainan kekuasaan, asal kader dapat jabatan ideologi partai diobral murah padahal, mengutip filsuf Prancis De Stut de Tracy (1836), ideologi merupakan fundamen penting yang vital diperlukan dalam merumuskan prnsip dasar berpikir rasional untuk membangun kapasitas partai sebagai institusi politik.
Dalam antropologi pun soal ideologi diajarkan bahwa ideologi tidak hanya hidup dalam teks, tetapi dalam praktik keseharian, Ideologi dapat bertahan karena diwariskan melalui ritus dan simbol yang tertanam lama sebagai habitus, meminjam istilah Piere Bordieau (1977). Namun, faktanya di Indonesia Ideologi partai dan negara mengalami distorsi berbeda antara ide dan realitasnya.
Contoh Pancasila, sebagai ideologi resmi negara, tidak pernah benar-benar diinternalisasi secara budaya. Tetapi hanya diajarkan sebagai hafalan, bukan laku etis konkrit, sering dirayakan 1 Juni sebagai upacara, tetapi ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme kader partai terjadi, sama sekali saya tidak melihat ada semacam kegundahan dan pergulatan moral elite oleh partai.
Dalam antropologi politik, Pancasila menjadi suatu identitas simbolik, bukan semata sistem makna. Pancasila sebagai ideologi harusnya dapat berfungsi apik dan epik sebagai penanda politik, tetapi tidak bekerja sebagai struktur nilai dalam kehidupan publik.
Di sinilah problem utamanya tentang raibnya ideologi partai dan negara. Sehingga apa yang disebut oleh Daniel Bell (1960) sebagai akhir ideologi di dunia Barat, bagi Indonesia justru merupakan kegagalan kelahiran kembali ideologi.
Bagi Bell (1960) dengan penuh metafor dan alegorie mengatakan bahwa ideologi mati karena masyarakat maju telah melampauinya. Tetapi melihat realitas partai politik di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya, kita mudah menyaksikan banyak ideologi partai mati sebelum ia sempat tumbuh menjadi kekuatan moral yang matang dalam demokrasi.
Apa yang terjadi di dunia barat yakni matinya ideologi seharusnya tidak perlu dini terjadi pada partai politik di Indonesia yang masih memerlukan kekuatan konsolidasi. Berbeda konteksnya dengan masyarakat modern barat yang telah jenuh dengan praktek ideologi besar seperti komunisme, sosialisme, liberalisme dan kapitalisme karena persoalan politik kini sudah berubah menjadi persoalan teknis.
Namun, di Indonesia, pragmatisme bukan muncul dari rasionalitas teknokratik, melainkan dari kalkulasi pemilu. Segala sesuatu diurai berdasarkan potensi elektoral. Setiap kebijakan ditimbang oleh suara, bukan oleh nilai dan relevansinya dengan ideologi.
Sehingga meski ada reformasi berupa perbaikan sistem politik, hukum, ekonomi, kesehatan, dan sosial cenderung tertahan oleh kepentingan transaksional dan perhitungan soal elektabilitas politik. Elite politik lebih sibuk mengelola persepsi publik dari pada membangun visi politik yang populis dan konkrit.
Padai titik ini, saya kira kematian ideologi pada partai dan negara akan membawa bukan ke arah pemerintahan yang efisien, tetapi ke arah politik tanpa karakter. Bahayanya Indonesia seperti bergerak bukan karena tahu mau ke mana, melainkan karena takut kehilangan momentum menjadi aktor elite pada pemilu selanjutnya.
Koalisi Tanpa Makna, Oposisi Tanpa Keyakinan
Saya pikir dan melihat fenomena politik dan kepartian di Indonesia pasca reformasi tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua koalisi partai politik sering lebih pragmatis dibandingkan ideologis, tentu saja tradisi politik tersebut, menimbulkan beragam problem struktural kelembagaan. Karena koalisi politik sering dibangun tanpa fondasi ideologi partai yang segaris membuat corak dan karakter partai tidak punya ideologi yang tegas.
Akibatnya perbedaan antara partai nasionalis dan religius hanya bersifat simbolik bukan inheren pada platform kebijakan yang diputuskan. Pola dan model pembentukan koalisi tanpa alasan ideologis berimplikasi langsung pada hilangnya garis demarkasi pembatas ideologi antar partai.
Harusnya pembentukan koalisi partaipartai di parlemen ditentukan oleh kesamaan visi politik dan ideologi bukan hanya koalisi untuk sekedar memperoleh akses kekuasaan, jatah menteri di kabinet.
Hemat saya praktik koalisi model tersebut, secara politik dan kepartaian tidak populis dan menyebabkan penyelenggaraan kekuasaan politik tidak dilandasi lagi oleh basis program melainkan memicu munculnya oligarghic bargaining (elite dibelakang layar) terutama ketua partai, jaringan pemodal, dan korporasi.
Mereka dengan berlimpah uang dan akses turut berkepentingan untuk ikut mengatur orang agar mendapatkan jatah pimpinan fraksi, pimpinan legislatif dan pimpinan lembaga negara yang nantinya memberikan dukungan legislative dan menyediakan akses proyek dan anggaran di kekuasaan. Di negara demokrasi, partai politik seharusnya menjadi penjaga arah bangsa.
Koalisi seharusnya dibangun untuk memperkuat pemerintahan, menghadirkan agenda, dan menciptakan stabilitas. Namun dalam praktik politik Indonesia, partai dan koalisi justru sering menjadi cermin dari krisis yang lebih dalam, hilangnya orientasi moral dalam pengambilan keputusan.
Kita menyaksikan politik yang bergerak cepat, tetapi tanpa kedalaman makna dan orientasi politik jelas. Koalisi yang berubah dengan mudah, tetapi tanpa kompas nilai.
Banyak partai politik di Indonesia mengaku dan mengklaim memiliki akar dan bagunan ideologis sebut saja mislanya, PDIP dengan nasionalis Pancasila dan Marhaenis, Golkar dengan nasionalis pembangunan, Gerindra dengan nasionalis populis, PKS dengan islam modernis, PPP dengan islam tradisional, PBB islam nasionalis, PKB dengan islam kultural NU, dan PAN dengan islam modernis Muhamadiyah dan pluralis. Di atas, kertas semua partai hampir tidak ada yang menolak bahwa mereka punya ideologi sebagai basis historis, azas filosofis dan antropologis.
Namun, faktanya nyaris semua kebijakan-kebijakan politik yang diambil dan diputuskan di dapur inti parlemen tidak ada yang menegaskan adanya cerminan dari basis etik ideologi partai politik. Semua partai mengaku berjuang atas nama dan demi rakyat tetapi saat kasus bandara IMIP di Morowali, kasus kereta cepat Whoosh, kasus sengkarut ijazah palsu Jokowi, kasus Rempang, kerusakan raja ampat akibat tambang dan korupsi sistemik dana pokir siluman di parlemen NTB nyaris semua partai tiba-tiba- gagap dan menjadi bisu.
Kemana larinya suara partai-partai koalisi yang berada di episentrum kekuasaan sebagai representasi dan corong suara dari kepentingan publik padahal, mengutip kembali Daniel Bell bahwa salah satu indikator paling jelas dari matinya ideologi adalah fluiditas (kelenturan/ketercairan) koalisi yang ekstrem. Dalam antropologi, istilah fluiditas politik merujuk pada koalisi partai yang mudah terbentuk, gampang berubah, partai tidak punya garis ideologi tetap, dan aktor politik yang mudah berpaling dukungan.
Rata-rata koalisi partai politik di Indonesia bukan karena hasil kesamaan nilai, tetapi hasil kalkulasi peluang. Partai yang hari ini menolak satu gagasan dapat mendukung gagasan yang sama esok hari ketika konstelasi berubah.
Tak ada rasa malu, karena tak ada landasan ideologis yang dilanggar. Oposisi pun bernasib serupa. Kritik yang seharusnya memperjuangkan prinsip berubah menjadi manuver taktis untuk memetakan posisi tawar.
Demokrasi membutuhkan perbedaan. Tetapi ketika perbedaan itu tidak berakar pada nilai, maka, saya pikir sejatinya demokrasi telah kehilangan fungsi deliberatifnya.
Di banyak negara seperti Eropa, partai dapat membangun koalisi karena ada titik temu antara ideologi, nilai, visi politik dan strategi perjuangan politik yang diusung partai. Mengapa di Indonesia, ideologi partai justru sering dan mudah cair (fluid).
Saya pikir ada sejumlah alasan seperti rata-rata partai di Indonesia tidak berbasis kelas, partai politik kental dengan patronase, dimana elite menjadi pusat sumber daya, dan Pancasila menjadi ideologi Tunggal, negara memaksa adanya homogenitas dan buruknya partai politik kita, jarang yang mampu bertahan pada posisi menjadi oposan sengit pemerintah sebaliknya, partai lebih gemar dan mudah tergoda untuk membangun koalisi gemuk dengan pemerintah sehingga menghilangkan urgensi wajib adanya oposisi ideologis yang kontra pada kekuasaan.
Koalisi partai yang kini ada di kekuasaan justru menjadi semacam pameran tentang betapa dangkalnya komitmen ideologis partai-partai politik di indonesia.
Sehingga partai yang awalnya berseberangan sengit pada masa kampanye dapat berpelukan tak lama setelah kemenangan politik lain diumumkan.
Saya yakin bahwa pergeseran dan perubahan komitmen ideologis partaiseringakli terjadi bukan karena alasan dan pertimbangan kebijakan, tetapi karena hitungan kursi dan peluang kekuasaan. Koalisi partai-partai kita, hemat saya lagi adalah koalisi tanpa cerita dan dialektika.
Tidak ada negosiasi kesamaan cita perjuangan dan platform ideologis. Tidak ada pertarungan nilai yang diperdebatkan. Hanya ada pembagian posisi. Saya yakin bahwa koalisis yang bangun oleh partai-partai di kekuasaan tanpa basis kesamaan nilai etik, koalisi tersebut, akan kehilangan fungsi utamanya dalam memberi arah pada terciptanya pemerintahan transformatif, kredible dan solutif.
Mengembalikan Pancasila sebagai etika publik, bukan slogan
Kematian ideologi partai juga tercermin dan dapat ditandai dari cara publik membicarakan politik, akhir-akhir ini wacana publik kian dangkal karena banyak orang sibuk dan terjebak hanya pada simbol, identitas, atau ritus-ritus politik personal. Seperti aksi aktor politik makan di warung kaki lima, aktor masuk pasar tradisional, aktor bangun jalan tani, dan donasi di tempat ibadah.
Padahal, negara kita sedang menghadapi persoalan struktural yang mendesak dari krisis ekologi, deforestasi, banjir, ketimpangan pendapatan, kolusi, nepotisme, korupsi dan kualitas pendidikan yang stagnan. Tetapi ironisnya, perdebatan publik tidak mengalir ke isu-isu kritis tersebut.
Kita lebih sibuk memperdebatkan siapa yang lebih nasionalis daripada apa makna keadilan sosial dalam konteks modern. Lebih sibuk membicarakan gestur politisi daripada arah pembangunan jangka panjang.
Ruang publik yang kehilangan nilai akan mudah dikuasai oleh sensasi. Saya pun yakin bahwa politik yang dikendalikan oleh sensasi tidak akan pernah menjadi wahana perubahan.
Memang saya akui bahwa dalam banyak perjumpaan akademis, kerapkali ada yang keliru memaknai soal ieologi partai. Sehingga setiap kali pembicaraan tentang ideologi, publik cenderung membayangkan sesuatu yang abstrak kaku dan penuh dogmatis.
Padahal, dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, menghidupkan kembali ideologi partai dan ideologi negara berarti mengembalikan fungsi nilai-nilai Pancasila yang kini redup sebagai pemandu arah jalanya demokrasi. Di tengah surplus politisi yang minus integritas setidaknya dengan lekas menghidupkan ideologi pada partai, artinya ada upaya menghadirkan negarawan lewat partai sebagai ruh dan organ vital demokrasi.
Oleh karena itu, saran saya partai politik harus mulai berani menyatakan posisi diri dan nilai ideologinya dalam kebijakan ekonomi negara, politik lingkungan negara, HAM, dan mengatur hubungan agama dan negara melalui panduan etik ideologi partai yang konsisten.
Sila-sila Pancasila harus diterjemahkan kembali dan diinsersi menjadi kebijakan politik partai dan ideologi partai yang dilandasi etik Pancasila dapat menjadi weltanschaung meminjam istilah Bung Karno yakni cara hidup, cara pikir dan cara menjalani hidup sehari-hari bangsa. Partai politik seperti PDIP misalnya harus menegaskan kembali posisi etik ideologinya dan perannya serta keberpihakan pada wong cilik (kaum lemah), penghormatan terhadap keberagaman, dan penegakan keadilan.
Menguatkan ruang deliberatif, dan masyarakat sipil perlu menciptakan kultur debat yang lebih substansial di ruang publik dan akademis ketimbang perbincangkan ritus dan seremoni politik. Dengan ideologi yang dimiliki sebenarnya tidak sulit bagi partai untuk mendidik politisi dan publik untuk berani mengambil posisi kritis dan oposan terhadap kekuasaan yang timpang.
Ketika Daniel Bell (1960) puluhan tahun lalu berbicara tentang akhir ideologi sejatinya sedang membayangkan masyarakat yang semakin rasional, semakin teknokratik, dan semakin stabil. Namun Indonesia memasuki fase ini dalam bentuk yang lebih ambigu dan lebih berbahaya.
Yang mati bukan ideologi yang mati adalah keberanian politik untuk menjadikan ideologi sebagai kompas moral. yang hilang bukan doktrin, tetapi orientasi.
Yang runtuh bukan gagasannya, melainkan komitmennya. Dan selama politik Indonesia enggan mengenali kembali nilai sebagai penuntun, demokrasi akan terus bergerak tanpa arah: dinamis, gaduh, tetapi kosong.
Kita membutuhkan kebangkitan ideologi bukan untuk menghidupkan dogma, tetapi untuk menghidupkan kembali keberanian moral yang seharusnya menjadi fondasi politik. Bagi saya ideologi partai bukan sekedar slogan tetapi ruh dan nafas partai (Ideologia est anima et spiritus partis).
Editor : Purnawarman