Gaya bicaranya yang lugas dan tegas menjadikannya tokoh muda yang berani menyuarakan suara rakyat.
Segala bentuk ketidakbenaran, khususnya yang merugikan masyarakat, selalu ditanggapinya dengan saran dan kritik tajam. Semangatnya untuk memperbaiki keadaan menjadi salah satu ciri khas perjuangannya di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan.
Dekat dengan Para Ulama dan Pesantren
Meski tidak pernah menempuh pendidikan formal di pesantren, Bung Tomo memiliki hubungan erat dengan para kiai dan ulama besar Jawa Timur, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Para tokoh agama ini turut mendukung perjuangan rakyat Surabaya dalam melawan penjajahan.
Kedekatan Bung Tomo dengan para ulama memperkuat keyakinannya bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Ia meyakini bahwa berjuang membela tanah air atas nama Allah tidak akan pernah sia-sia, meski harus mengorbankan nyawa.
Ketika Pertempuran Surabaya pecah pada 10 November 1945, para kiai dan santri dari berbagai pondok pesantren di Jawa turut bergabung dalam perlawanan. Seruan jihad dari KH Hasyim Asy’ari kala itu menjadi pemicu semangat juang rakyat. Bung Tomo kemudian tampil sebagai orator ulung yang membakar semangat ribuan pejuang untuk bertahan melawan pasukan Sekutu.
Bung Tomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 dan wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji. Ia dimakamkan di Kota Surabaya dengan penghormatan militer.
Pidatonya yang terkenal “Allahu Akbar! Merdeka atau Mati!” menjadi simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia.
Selain menjadi pejuang kemerdekaan, Bung Tomo juga sempat aktif di dunia politik setelah Indonesia merdeka, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dikenal tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggapnya menyimpang dari cita-cita kemerdekaan.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait
