Oleh: Edo Segara Gustanto
Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara & Direktur LAZISNU DIY.
Tinggal di Yogyakarta
Selama ini, uang kerap dituding sebagai sumber kejahatan, kerakusan, dan perang. Namun, sesungguhnya uang bersifat netral, ia hanya alat yang bergantung pada tangan siapa ia digunakan. Di tangan yang serakah, uang menjadi sumber penindasan. Tetapi di tangan yang berkeadilan, uang dapat menjadi sumber kemanusiaan dan perdamaian.
Konflik Israel–Palestina menjadi cermin nyata bagaimana ekonomi memainkan peran ganda: sebagai senjata politik sekaligus potensi perdamaian. Israel tidak hanya berperang dengan senjata, melainkan juga mengendalikan ekonomi Palestina melalui blokade jalur perdagangan, pembatasan bahan bakar, dan kontrol terhadap sumber daya air. Rakyat Palestina dikurung dalam sistem ekonomi yang melemahkan kemandirian mereka.
Dalam situasi itu, perang menjadi lebih senyap, tetapi lebih dalam. Tidak ada ledakan, namun penderitaan hadir di setiap rumah. Anak-anak sulit sekolah, petani tak dapat menanam, pengusaha kecil tak mampu berproduksi. Itulah wajah kolonialisme baru: bukan dengan tank, tetapi dengan kendali ekonomi.
Namun, sejarah juga memperlihatkan sisi lain dari ekonomi. Setelah Perang Dunia II, Eropa yang dulu terpecah akhirnya membangun kerja sama ekonomi lewat Uni Eropa. Batu bara dan baja, dua sumber perang, diubah menjadi sarana kerja sama. Perdamaian bertahan karena lahir dari keadilan ekonomi, bukan sekadar diplomasi politik.
Etika Ekonomi Islam dan Jalan Keadilan
Islam memandang ekonomi bukan semata urusan untung rugi, tetapi bagian dari ibadah dan tanggung jawab sosial. Prinsip keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan (maslahah) menjadi fondasi utama. Zakat, infak, dan sedekah bukan sekadar ritual, tetapi mekanisme untuk mencegah kesenjangan dan memastikan kesejahteraan sosial.
Larangan terhadap riba dan eksploitasi bukanlah bentuk pembatasan kebebasan, melainkan upaya menjaga agar ekonomi tidak berubah menjadi alat penindasan. Ekonomi yang berkeadilan menciptakan ketenangan sosial, menghilangkan rasa dengki, dan menumbuhkan solidaritas.
Dalam konteks Palestina, prinsip ini menjadi semakin relevan. Ketimpangan ekonomi global, di mana sebagian besar kekayaan dunia dikuasai segelintir korporasi, berdampak pada politik dan kemanusiaan. Ketika ekonomi digunakan untuk menguasai, perdamaian menjadi mustahil. Tetapi ketika ekonomi dijadikan sarana untuk berbagi, maka ia menjadi pintu masuk bagi keadilan yang lebih luas.
Islam menawarkan konsep ekonomi berbasis keberkahan: uang yang berputar dan memberi manfaat. Kesejahteraan bukan diukur dari akumulasi, tetapi dari seberapa besar nilai yang mampu dihasilkan bagi kemaslahatan bersama.
Solidaritas Ekonomi sebagai Bahasa Perdamaian
Gerakan boikot produk pro-Israel yang meluas di dunia digital menjadi fenomena menarik. Ia bukan sekadar ajakan menolak konsumsi, melainkan bentuk perlawanan moral tanpa kekerasan. Boikot menjadi bahasa solidaritas baru, di mana konsumen berperan aktif menolak sistem ekonomi yang menopang ketidakadilan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ekonomi bukan hanya ranah transaksi, tetapi juga ruang ekspresi nilai dan etika. Uang menjadi bentuk suara: setiap rupiah yang dikeluarkan atau ditahan membawa pesan moral. Dalam konteks ini, uang bisa menjadi alat perdamaian, ketika diarahkan untuk mendukung keadilan dan kemanusiaan.
Solidaritas ekonomi global terhadap Palestina memperlihatkan bahwa kesadaran kemanusiaan tidak lagi dibatasi oleh batas geografis atau agama. Ia tumbuh dari empati, dari keyakinan bahwa penderitaan di satu tempat adalah cermin luka bagi dunia.
Namun, solidaritas ini harus melampaui seruan emosional. Ia perlu diwujudkan dalam ekonomi yang beretika, transparan, dan memberdayakan, baik dalam skala lokal maupun global. Karena perdamaian sejati tidak cukup ditegakkan di meja perundingan; ia harus hidup dalam sistem ekonomi yang menjunjung martabat manusia.
Pada akhirnya, perdamaian tidak lahir dari meja perundingan, tetapi dari rasa adil dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam sistem ekonomi. Ketika uang digunakan untuk memberdayakan, bukan menindas, maka ia menjadi sarana kemanusiaan yang paling nyata.
Karena itu, tugas kita bukan sekadar menolak perang, melainkan mengubah arah aliran ekonomi agar berpihak pada mereka yang tertindas. Sebab perdamaian sejati bukan ketiadaan konflik, melainkan hadirnya keadilan yang dirasakan bersama.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait
