“Biar pun di dalam aturannya boleh menggunakan itu, tetapi karena di kota, padat jadi juga mengganggu masyarakat pengguna jalan. Tetapi pada patroli-patroli tertentu, contohnya mungkin jalan tol itu sangat penting, karena memang bagaimana patroli itu bisa mengurangi pengguna jalan untuk mungkin over speed, kecepatan tinggi. Tetapi di dalam perkotaan memang kami bekukan, kami evaluasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa penggunaan sirene tetap diperbolehkan dalam konteks patroli lalu lintas untuk mencairkan kemacetan. Namun, untuk pengawalan pejabat negara, aturan ini akan diberlakukan lebih ketat dan selektif.
“Pengawalan tetap jalan, tapi penggunaan bunyi-bunyi sirene, strobo itu perlu kita evaluasi dan bahkan bila perlu dibekukan. Untuk lebih baiknya demikian,” tambahnya.
Koordinasi dengan Ditgakum Korlantas Polri
Agus memastikan bahwa teknis aturan ini akan dikoordinasikan dengan jajaran Direktorat Penegakan Hukum (Ditgakum) Korlantas Polri.
“Secara teknis, nanti Dirgakum bisa ngatur, karena bagaimana pun perkembangan saat ini kita harus respons positif untuk kebaikan bersama,” tuturnya.
Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” muncul pertama kali di platform X (Twitter) dan mendapat dukungan luas dari warganet yang menilai sirene kerap dipakai berlebihan.
Evaluasi ini menjadi bagian dari upaya Polri meningkatkan citra pelayanan publik dan mengurangi kesan eksklusivitas dalam pengawalan pejabat.
Negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, sudah menerapkan aturan ketat soal penggunaan sirene hanya untuk kondisi darurat.
Polri menargetkan evaluasi ini rampung sebelum akhir tahun 2025, agar bisa menjadi pedoman nasional.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait