LOMBOK, iNewsLombok.id – Ulama kharismatik asal Lombok Timur sekaligus mantan Anggota DPRD NTB periode 2014–2024, TGH Najamudin Mustafa, melontarkan kritik tajam terhadap Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal. Menurutnya, Gubernur Iqbal tengah memainkan strategi “politik belah bambu” yang berpotensi memicu perpecahan di internal partai politik maupun lembaga legislatif.
“Politik belah bambu itu tidak pernah elok. Itu adu domba. Ketika Gubernur NTB melakukan itu, ia dengan sadar meninggalkan jejak ketidakadilan,” ujar TGH Najamudin di Mataram, Jumat (22/8/2025).
Pertemuan Diam-Diam dengan Ketua Fraksi
Najamudin menilai praktik tersebut terlihat jelas dari langkah Gubernur Iqbal yang diam-diam mengundang para Ketua Fraksi DPRD NTB dalam sebuah pertemuan di hotel Mataram pada 19 Agustus 2025. Pertemuan itu disebut-sebut membahas dugaan kasus dana siluman yang kini tengah diselidiki Kejaksaan Tinggi NTB.
Menurut Najamudin, seharusnya seorang gubernur memahami bahwa ketua fraksi adalah perpanjangan tangan partai politik, sehingga komunikasi mestinya dilakukan melalui pimpinan partai, bukan jalur belakang.
“Seorang gubernur yang paham tata krama politik akan menempatkan diri secara proporsional. Membangun dialog dengan fraksi melalui jalur partai. Bukan malah main pintu belakang,” tandasnya.
Imbas Politik: Ketua Fraksi Dicopot
Najamudin menambahkan, langkah Gubernur Iqbal telah menimbulkan konsekuensi politik serius. Sejumlah partai meminta klarifikasi dari anggotanya yang hadir, bahkan PDI Perjuangan mencopot Raden Nuna Abriadi dari posisi Ketua Fraksi karena hadir dalam pertemuan tersebut.
“Gubernur ini sengaja. Dia mau menciptakan politik pecah belah,” tegas Najamudin.
Bandingkan dengan Gubernur Sebelumnya
Tokoh NU itu lalu membandingkan Iqbal dengan dua gubernur sebelumnya, TGB HM Zainul Majdi dan H. Zulkieflimansyah. Keduanya, kata dia, selalu menjaga tata krama politik dengan bersilaturahmi langsung ke pimpinan partai, termasuk sowan ke kediaman Ketua DPD PDI Perjuangan NTB, H. Rachmat Hidayat.
“Sowan Gubernur ke ketua partai, meski sebatas silaturahmi, tidak akan mengurangi wibawa. Justru meninggikan martabat. Buahnya pasti kebaikan,” tambahnya.
Dari Leader Menjadi Dealer?
Najamudin memperingatkan, bila Gubernur Iqbal tetap menggunakan strategi pecah belah, maka dirinya tidak akan pernah menjadi leader sejati, melainkan hanya sebatas dealer yang memainkan kepentingan jangka pendek.
“Pemimpin itu panutan. Leader itu mengayomi. Dealer itu tukar tambah sesuai kepentingan sendiri,” tegasnya.
Dana Siluman dan Ancaman Krisis Anggaran
Selain masalah etika politik, Najamudin juga menyoroti polemik dana siluman DPRD NTB yang dikaitkan dengan regulasi dari Peraturan Gubernur.
Ia khawatir, pengelolaan anggaran daerah di bawah kepemimpinan Iqbal akan jauh dari akuntabilitas.
“Saya tidak bisa bayangkan, akan seperti apa anggaran NTB yang disusun oleh Gubernur Iqbal sendiri. Ini saja, anggaran yang disusun pemerintahan sebelumnya sudah dihancurkan sedemikian rupa,” tutupnya.
Sebelumnya, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan bahwa pertemuannya dengan ketua-ketua fraksi DPRD NTB beberapa waktu lalu murni sebatas silaturahmi dan diskusi agenda legislasi. Ia membantah keras isu yang menyebutkan adanya pembahasan terkait dana pokok pikiran (Pokir) dewan.
"Biasa pertemuan silaturrahim biasa, sama sekali gak dibahas, tidak ada membahas itu (Dana Pokir)," kata Iqbal, Kamis (21/8/2025).
Iqbal menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihaknya bersama pimpinan fraksi DPRD NTB lebih banyak mendiskusikan rencana pengajuan rancangan peraturan daerah (Raperda) baru serta revisi beberapa perda yang sudah ada.
"Yang dibahas banyak, akan kita ajukan Raperda Dasar Desa Berdaya, NTB Capital, kemudian retribusi kita akan lakukan perubahan, dan saling pengertian,dengan DPRD," tegasnya.
Politik belah bambu merupakan istilah strategi adu domba dengan cara mengangkat satu pihak, sementara pihak lain ditekan.
Kasus dana siluman DPRD NTB kini menjadi sorotan publik karena dianggap berpotensi merugikan keuangan daerah.
Kejaksaan Tinggi NTB tengah melakukan pendalaman dan investigasi atas dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus ini.
Praktik bypass komunikasi politik seperti pertemuan diam-diam ini dinilai berbahaya karena bisa memperlemah fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait