Hal ini bisa jadi munculnya konstestan bak jamur dimusim hujan itu diwarnai dengan berbagai motivasi, salah satu bisa jadi hanya sekedar blaving, test the water untuk menaikkan posisi tawar semata, ujung- ujungnya Hand Up dari kontestasi.
Selain itu, terseleksi kontestan Pilgub NTB 2024 nantinya tidak terlepas dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain , Popularitas kurang menarik perhatian pemilih , rekam jejak atau jam terbang yang kurang mumpuni , elektabilitas tidak naik, budget yang tipis kering, terakhir timbulnya kesadaran parpol untuk mengusung kadernya , semisal PDIP jauh-jauh hari sudah merekom kadernya tampil di berbagai tingkatan Pilkada di NTB tahun 2024 mendatang.
Didu menyebut minimnya calon kepala daerah baru baik dari kader parpol maupun non partai menyongsong Pilgub NTB 2024 bisa diamati dari fenonena akhir-akhir ini yang tidak mencerminkan giroh sebagai petarung yang 'serius'.
"Bisa jadi belum munculnya calon kepala daerah ini karena parpol sedang di sibukkan oleh Pemilihan Legislatif dan Pilpres. Sehingga konsentrasi dan energi politiknya difokuskan di dua moment tersebut," terangnya.
Lelaki yang akrab disapa didu mengatakan kalaupun hari ini energi dan konsentrasi politik Parpol tercurah di momentum pileg dan Pilpres tentu ini bagian dari strategi Parpol untuk menaikkan elektabilitas yang tercermin dari raihan Kursi di Parlemen baik tingkat II , kabupaten kota, Provinsi maupun Pusat DPR RI.
"Makin besar jumlah perolehan kursi di Parlemen secara signifikan , tentu akan berkorelasi terhadap posisi tawar politik dalam kontestasi Pilkada serentak, November atau September 2024 mendatang, khususnya dalam menentukan papan satu atau papan dua," ujar didu.
Selanjutnya menurut mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB melanjutkan Mi6 memprediksi dalam gelaran Pilkada NTB Serentak tahun 2024 akan banyak Parpol yang mengusung Kader Ideologis tampil dan maju dalam Pilgub NTB sebagai bagian dari kaderisasi dan jenjang karier politik.
Parpol sepertinya dalam Pilgub NTB enggan merekom Calon Kepala Daerah diluar Kadernya. Hal ini tentu untuk meminimalisasi resiko politik dibelakang hari.
" Partai Politik makin menyadari pentingnya meraih dan merebut kekuasaan politik untuk memperkuat legacy dan citra baik di mata rakyat dan konstituennya, " terangnya.
Terkait calon kepala daerah bukan dari kalangan kader partai politik , didu melihat perlu effort yang lebih untuk menyakinkan owner parpol bahwa kekuatannya tidak sekedar elektabilitas, rekam jejak , tapi harus disertai komitmen yang kuat plus logistik.
"Kontestasi Pilkada perlu biaya yang tidak sedikit untuk menggerakkan semua sumber daya pemenangan, seperti biaya kampanye, APK, saksi maupun operasional lainnya, belum lagi biaya survey," ungkapnya.
Sehingga agak sulit membayangkan dan mustahil jika para konstestan Pilkada tidak ditopang oleh biaya politik yang memadai untuk kontestasi Pilkada.
"Dipentas politik gelaran Pilkada tidak sekedar mengandalkan popularitas dan ketokohan semata, karena tidak ada makan siang gratis. Yang ada adalah hubungan simbiosis mutualisme yang saling memahami maksud," urai didu.
Terakhir didu menggaris-bawahi bahwa tidak mudah memenangi Pilgub NTB 2024 bagi siapapun yang tampil sebagai Calon Kepala Daerah karena Lanskap jauh berbeda dibanding Pilgub 2018 silamnya. Salah satu terdapat 2,1 Juta Pemilih Pemula/ Swing Votter/ Gen Z , Milenial yang perlu di yakinkan utk memilih dan datang ke TPS .
Untuk sekedar Ilustasi Pada Pilgub NTB 2018 silam , suara tidak sah sebesar 84. 361. Dari total pemilih 2,6 jutaan.
Sementara Pileg 2019, suara yang tidak sah maupun pemilih golput di pulau lombok berkisar hampir 700 ribuan. Jumlah suara tidak sah dan golput berpeluang digarap dalam Pilkada / Pemilu 2024.
"Menggarap suara tidak sah dan pemilih Golput diawal akan menghindarkan kandidat baru ditahap awal langsung head to head dengan petahana. Dengan menghindari head to head di fase awal dengan petahana, kandidat baru tidak akan terjebak pada pola menyiram garam dilautan saat bersosialisasi atau sia sia," tutupnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait