JAKARTA, iNewsLombok.id - Undang-undang Dasar (UUD) yang mengatur tentang perguruan Tinggi di gugat salah seorang dosen kampus swasta, Dr. Teguh Satya Bhakti SH., MH., (TSB), ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai Gaji Dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia tidak setara.
TSB yang juga mantan Hakim PTUN berharap agar gaji dosen bisa disamakan dan disetarakan, baik untuk dosen PTS dan PTN. Berkas gugatan diajukan TSB melalui Kuasa Hukumnya dari VST & Partners, Senin (25/9/2023), ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami dari VST and Partners selaku kuasa hukum dari Dr Teguh Satya Bhakti SH MH telah mendaftarkan secara online permohonan pengujian materiil atas Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (1) huruf b UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi," kata kuasa hukum TSB, Viktor Santoso Tandiasa SH MH.
Selain Viktor Santoso Sandiasa, turut bertindak sebagai kuasa hukum pemohon dalam gugatan itu antara lain Harseto Setyadi Rajah, Rustina Haryati, dan Nur Rizqi Khafifah.
Viktor mengungkapkan, alasan TSB melalukan gugatan yudisial review UU Dikti ke MK, antara lain karena terjadinya perlakuan yang berbeda terhadap dalam lingkup profesi dosen.
Di mana sebagai dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), pengaturan upah mengikuti besaran UMK dan UU Ketenagakerjaan. Hal itu berbeda-beda penetapan besaran gaji pokoknya di setiap daerah.
Sementara terhadap dosen pada PTN memiliki pengaturan terhadap besaran upah yang sama dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
"Artinya ada perlakuan yang tidak sama terhadap profesi dosen yang dialami oleh pemohon di mana sebagai dosen pada PTS menjadi tidak ada jaminan terhadap besaran upah yang sama di setiap daerah karena terhadap dosen swasta tidak memiliki aturan yang seragam sebagaimana aturan terhadap dosen PNS sebagaimana diatur pada PP 15/2019," kata Viktor.
Viktor menjelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu bangsa. Karena pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan ini merupakan salah satu tujuan dan cita-cita dari bangsa Indonesia, yang telah tercantum dalam alinea ke-empat pembukaan UUD 1945.
"Untuk mewujudkan dari cita-cita bangsa ini, maka pemerintah dapat menjalankannya dengan membuat peraturan untuk mengatur pengelolaan, penyelengaraan pendidikan, selain itu masyarakat juga mempunyai kewajiban yang dapat diterapkan melalui pendirian dan penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta," kata Viktor.
Namun menurutnya, Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 yang menyebutkan bahwa Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada Dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Ketentuan ini tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil karna tidak dapat menjamin pemberian gaji pokok serta tunjangan oleh badan penyelenggara kepada dosen dan tenaga kependidikan dapat dipenuhi secara layak dan optimal," urai Viktor.
Selain itu Pasal 89 ayat (1) huruf b UU 12/2012 yang berbunyi bahwa Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan.
Menurut Viktor, ketentuan dalam Pasal 89 ini juga tidak memberikan kepastian hukum yang adil atas terpenuhinya kesetaraan hak berupa gaji pokok bagi dosen dan tenaga kependidikan pada PTN dengan dosen dan tenaga kependidikan pada PTS.
Padahal menurut dia, beberapa peraturan tidak terlihat hal-hal yang membedakan antara PTN dan PTS, seperti dalam UU No 14 Tahun 2005 Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, UU Nomor 14 Tahun 2005 tidak membedakan definisi antara dosen pada PTN dengan dosen pada PTS.
Begitu pun dalam Pasal 72 UU No.12 Tahun 2012 tidak membedakan antara dosen PTN dengan dosen PTS dari segi jenjang akademik.
Selain itu dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b UU 12/2012, penjelasannya juga tidak membedakan definisi antara tenaga kependidikan pada PTN dengan tenaga kependidikan pada PTS.
Yaitu hanya menyebutkan 'tenaga kependidikan' adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain, pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi.
"Maka dapat dilihat bahwa tidak ada aturan yang membedakan antara PTN dengan PTS yang signifikan, namun perbedaan antara PTN dengan PTS hanya terlihat pada konteks pendirian dan/atau penyelenggaranya saja," ungkap Viktor.
Maka antara PTN dan PTS seharusnya tidak mengeliminasi kewajiban negara (pemerintah) sebagai pemangku kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi.
Viktor mengungkapkan, saat ini Gaji Pokok serta Tunjangan kepada dosen PTS sebagai tenaga profesional dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, tidak mencerminkan amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Karena itu, penggugat meminta MK menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Pendidikan Tinggi sepanjang frasa "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "Yang dananya bersumber dari dana Pendidikan Tinggi yang disubsidi oleh pemerintah kepada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat".
"Menyatakan Pasal 89 ayat (1) huruf b UU Pendidikan Tinggi sepanjang frasa 'sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan' bertentangan dengan UU 1945 sepanjang tidak dimaknai 'sebagai bantuan biaya gaji pokok Dosen, tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan'," tegas Viktor.
Seperti diketahui figur Dr. Teguh Satya Bhakti SH., MH., (TSB) dikenal cukup kritis di dunia hukum dan pendidikan. Saat masih aktif sebagai Hakim PTUN di Jakarta, TSB juga yang menginisiasi kenaikan gaji dan pendapatan hakim di Indonesia.
Dalam sebuah podcast di Jakarta, TSB yang kini maju sebagai Caleg DPR RI dari Partai Hanura, juga menyoroti soal amanah konstitusi yang belum berjalan di tingkat implementasi dunia pendidikan.
"Dana pendidikan 20 persen itu ada undang undangnya, itu amanah konstitusi. Tapi faktanya kan belum optimal berjalan implementasinya,".
TSB menekankan, jika kelak ia diberi amanah duduk di kursi DPR RI maka hal ini yang akan diperjuangkan. Sebab menurutnya, tugas dan fungsi DPR adalah fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan.
"Saya tak ingin menjual program yang du luar konstitusi, jika diberi amanah di DPR RI jelas fungsi pengawasan yang akan saya optimalkan. Konstitusi wajib dilaksanakan," tegasnya.
Menurut TSB, jika semua Undang-Undang dilaksanakan sebagai konstitusi maka ketidakadilan dan ketimpangan tak mungkin terjadi di negeri ini.
"Termasuk soal Dikti. Ada perlakuan yang tidak setara antara Dosen PTS dan PTN, padahal tupoksi mereka sama, sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah, saya menggugat melalui MK," pungkasnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait