MATARAM, iNewsLombok.id - Ketua DPD PDI Perjuangan NTB yang juga Anggota DPR RI dari Dapil Pulau Lombok, H Rachmat Hidayat (RH) tetap akan melarang Anggota DPRD dari PDI Perjuangan ikut program kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri.
Namun kini, setelah dituding ikut campur urusan DPRD NTB hanya karena kebijakan internal partai pada anggota fraksinya, RH menegaskan, bahwa dirinya akan benar-benar melakukan hal yang telah dituduhkan Wakil Ketua DPRD NTB tersebut. Sebagai rakyat di NTB, RH menegaskan, memiliki hak untuk ikut campur.
“Apa yang saya tidak ketahui tentang yang hitam dan yang putih di DPRD NTB ini. Jika selama ini kita tidak pernah ikut campur tapi kini malah dituding ikut campur, maka sekalian, sekarang saya akan ikut campur!,” tandas RH, Senin (20/3).
RH menegaskan, dirinya tidak bisa berkomentar tentang program kerja di DPRD NTB. Rachmat juga mengaku tak memiliki kapasitas untuk berkomentar terkait program DPRD NTB sebagai sebuah lembaga.
"Terkait program kunjungan kerja ke luar negeri tersebut, bahwa PDI Perjuangan memiliki kebijakan internal. Anggota DPRD NTB dari PDI Perjuangan tidak dibolehkan mengikuti kunker luar negeri tersebut,"tegasnya.
Hal itu didasarkan pada instruksi DPP PDI Perjuangan yang meminta saat ini agar kader partai di parlemen memanfaatkan setiap waktu untuk melakukan perjumpaan dengan rakyat. Hari-hari bersama-sama mereka. Apalagi saat ini tahapan pemilu telah dimulai.
RH juga mempertanyakanurgensi kunjungan ke Dubai dan Australia, menjadi salah satu pertimbangan dalam pelarangan bagi Anggota DPRD dari PDI Perjuangan untuk turut serta.
"PDI Perjuangan melihat, kunjungan ke luar negeri tersebut tak akan memberikan tambahan pengetahuaan atau keterampilan legislasi dan budgeting yang signifikan bagi anggota DPRD dari partainya. Tidak ada yang bisa dibawa pulang dari luar negeri terkait peningkatan PAD bagi daerah misalnya, atau pola pembangunan negara yang dikunjungi tersebut yang bisa diadopsi,"tegasnya.
Menurut RH, langkah pimpinan DPRD NTB menuding kebijakan internal partai terhadap anggota fraksi sebagai wujud intervensi pada lembaga, adalah sebuah persoalan yang sangat serius. Sebab, siapa pun bisa menilai itu adalah cerminan DPRD NTB dan merupakan kebijakan resmi.
Sebuah hal yang tidak bisa diterima, mengingat konstitusi menjamin bahwa fraksi adalah alat kelengkapan DPRD NTB yang merupakan kepanjangan tangan partai politik.
“Sangat tidak bisa diterima jika kebijakan internal partai kepada anggota fraksinya di DPRD, dituding sebagai bentuk intervensi lembaga oleh pimpinan. Kalau mau ikut campur, dari dulu kita sudah ikut campur,” tandas RH.
Mantan Wakil Ketua DPRD NTB ini mengemukakan, terlalu banyak hal yang terjadi di DPRD NTB yang mengharuskan para pihak di luar lembaga untuk turut campur.
RH memberi contoh terkait banyak hal. Salah satunya tentang program fisik yang berasal dari pokok pikiran (pokir) anggota DPRD NTB.
“Saya punya bukti bagaimana proyek pokir ini diperjualbelikan. Bagaimana praktik ijon proyek pokir tersebut dengan kontraktor. Saya juga punya bukti, ada oknum pimpinan DPRD tawaf keliling dinas-dinas untuk meminta proyek,” tandas RH.
Politisi berambut perak ini juga mengaku mengetahui persis, bagaimana pembahasan anggaran di DPRD NTB yang disebutnya amburadul. Diungkapkannya, telah terjadi saling sandra saat pembahasan anggaran.
Kata RH, DPRD baru mau meluluskan anggaran yang diajukan eksekutif manakala kepentingan mereka telah terakomodasi. Tanpa itu, KUA-PPAS katanya, tidak akan mulus.
Imbasnya kata RH, besaran pendapatan daerah akhirnya acap tak seimbang dengan besarnya belanja. Dia memberi contoh. Dalam APBD NTB, ada potensi pendapatan sebesar Rp 350 miliar dari aset Pemprov NTB di Gili Trawangan.
Padahal, kata dia, publik tahu persis, bahwa hal tersebut benar-benar tidak masuk akal.
“Semua itu harus dilakukan semata demi bisa meluluskan syahwat pokir dari anggota dan pimpinan DPRD NTB. Saya punya bukti dan siap adu bukti,” terang RH.
Imbas dari semua itu kata Rachmat, utang Pemprov NTB kepada para kontraktor kini menumpuk. Bahkan nilainya lebih dari Rp300 miliar.
Dan umumnya, para kontraktor ini adalah mereka yang mengerjakan program fisik dari pokir wakil mereka di lembaga parlemen. RH menegaskan, dirinya tak anti program pokir. Sebab, dia tahu persis bahwa program tersebut juga untuk masyarakat.
Namun, menjadi hal yang tidak benar manakala wakil rakyat memaksakan program tersebut dengan cara-cara yang tidak benar pula. Karena itu, Rachmat menegaskan, jika kini Pemprov NTB berutang pada kontraktor, maka sepenuhnya hal tersebut tidak bisa dibebankan kepada Gubernur NTB belaka. Sebab, jelas-jelas ada andil DPRD NTB yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
“Undang-Undang Pemerintahan Daerah jelas menyebutkan bahwa pemerintahan daerah itu ada Gubernur dari eksekutif dan DPRD dari usur legislatif. Karena itu, DPRD NTB harus dimintai tanggung jawab atas hal ini,” tandas RH.
Terkait seluruh pengetahuannya tentang apa yang terjadi di DPRD NTB tersebut, Rachmat menegaskan pekan ini selepas kembali dari Jakarta, dirinya akan berkonsultasi dengan aparat penegak hukum dengan membawa pula bukti-bukti yang dimilikinya.
RH akan bertemu dengan Kapolda NTB dan juga Kepala Kejaksaan Tinggi NTB. Menurut RH, dirinya berbicara terkait hal ini, untuk membuka mata publik tentang apa yang terjadi di lembaga yang menjadi representasi wakil rakyat.
Selain itu, RH juga yakin, bahwa sesungguhnya, apa yang terjadi tersebut, telah menjadi atensi pula bagi aparat penegak hukum di Bumi Gora. Mengingat, hal-hal tersebut sebagian juga sudah menjadi rahasia umum dan menjadi pengetahuan publik, terutama setelah terdapat pemberitaan di media massa yang cukup banyak.
“Dalam hal ini, APH memang kita akan minta untuk turun tangan agar semua ini bisa terang benderang,” tandas politisi berambut perak ini.
Selain itu, dirinya juga akan menemui Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan agar ada evaluasi menyeluruh terhadap APBD NTB. Sebab, dengan beban utang yang menggunung kepada pihak ketiga, APBD NTB dinilainya dalam posisi mencemaskan. Karena itu, evaluasi harus dilakukan. Belanja-belanja yang tidak perlu, bahkan terkesan mubazir, baik di legislatif maupun di eksekutif, harus dievaluasi menyeluruh.
“Bila memang dirasa perlu, saya juga siap berkonsultasi dengan Jaksa Agung terkait semua hal yang saya ketahui dan bukti otentik yang saya miliki,” tandasnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait