Menyoal Politik Simbolik Negara dalam RUU Perampasan Aset, Siapa Bermain dan Terlibat Saling Sandera

Oleh: Dr. Alfisahrin, M. Si
Dosen Universitas Bima Intersional-UNBIM, dan Staf Ahli di DPD RI
PASCA reformasi tahun 1998 yang menggugat kekuasaan totalitarian Presiden Soeharto yang menuntut praktek korupsi, kolusi dan nepotisme rezim agar segera diakhiri. Publik pun menaruh harapan besar pasca kejatuhan Soeharto sejumlah ketimpangan birokrasi terutama KKN benar-benar diberantas.
Namun, faktanya seolah terbalik justru di era reformasi korupsi, kolusi dan neptisme semakin menggila dan menjadi-jadi. Jika di era Soeharto korupsi dilakukan sembunyi-sembunyi dan dibawah meja,di era reformasi korupsi terjadi telanjang dan terbuka di atas meja.
Pelakunya pun tidak lagi pandang bulu dari anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, hakim, jaksa hingga menteri. Data KPK tahun 2024 DPR/DPRD jumlah tersangka korupsi terbanyak adalah anggota DPR yakni 317 kasus.
Gubernur, bupati, Walikota, 180 kasus, dan pejabat kementrian /Lembaga 130 kasus. Terbaru kasus korupsi Chromebook Nadim Makarim eks Kemendikbudristek RI senilai 1,98 triliun menggemparkan publik.
Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat 30 puluh bentuk-bentuk praktek korupsi diantaranya suap, penggelapan, pemerasan, gratifikasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Praktek-praktek curang jenis-jenis korupsi ini sekarag malah terjadi luas di semua sektor pelayanan publik, misalnya dalam pengadaan barang dan saja, jual beli suara dan mahar politik yang menjadi pemicu korupsi politik, di sektor hukum pun tidak luput dari korupsi, suap hakim dan jaksa, bahkan di dunia pendidikan dana bos, beasiswa pun ikut di korupsi.
Editor : Purnawarman