Menguji Efektivitas Dana Rp200 Triliun Untuk Pertumbuhan Ekonomi
Alih-alih memperkuat basis produksi domestik. Akibatnya, modal keluar, rupiah tertekan, dan manfaat ekonomi dalam negeri menjadi terbatas. Sejarah krisis 1998 memberi pelajaran mahal: arus modal yang tidak terkendali bisa mengguncang perekonomian.
Penyaluran dana pemerintah melalui perbankan tunduk pada regulasi yang mengatur prinsip kehati-hatian. POJK tentang Penyaluran Kredit oleh Bank Umum menegaskan bank hanya dapat memberi kredit kepada debitur yang layak secara finansial (bankable).
Dalam praktiknya, kelompok yang paling mudah mengakses kredit adalah korporasi besar, aparatur sipil negara dengan gaji tetap, atau pengusaha yang memiliki agunan memadai.
Data Bank Indonesia (2024) mencatat rasio penyaluran kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) baru sekitar 21 persen dari total kredit nasional. Padahal, UMKM menyumbang lebih dari 60 persen terhadap PDB dan menyerap mayoritas tenaga kerja.
Sementara itu, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK (2024) menunjukkan tingkat inklusi keuangan sudah mencapai 85,1 persen, tetapi akses terhadap pembiayaan formal masih jauh lebih rendah. Sekitar 60 juta orang dewasa belum mampu memanfaatkan kredit karena terbentur syarat administratif atau tidak memiliki jaminan yang cukup.
Jika desain penyaluran dana Rp200 triliun tidak diarahkan secara eksplisit untuk memperluas basis penerima, besar kemungkinan fasilitas ini hanya berputar di kalangan debitur yang sudah mapan.
Sektor informal, wirausaha kecil, petani, dan pekerja lepas—yang sebenarnya paling membutuhkan dorongan modal—berisiko tetap di pinggir arena. Kesenjangan semacam ini bisa memunculkan ketegangan sosial ketika manfaat kebijakan terasa timpang.
Untuk memastikan dana besar ini mendukung pertumbuhan berkelanjutan, pemerintah dan otoritas keuangan perlu merancang strategi distribusi yang lebih inklusif dan tepat sasaran. Sejumlah langkah berikut dapat dipertimbangkan:
Pertama, skema penjaminan kredit. Skema ini melalui lembaga penjamin agar bank lebih percaya diri menyalurkan pembiayaan kepada segmen UMKM yang prospektif tetapi minim agunan.
Kedua, Penguatan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR dengan bunga rendah serta persyaratan fleksibel sehingga wirausaha mikro dapat mengakses modal tanpa hambatan administrasi yang rumit.
Ketiga, Sinergi dengan fintech. Sinergi ini untuk memperluas jangkauan layanan pembiayaan berbasis teknologi, sembari tetap menjaga tata kelola agar tidak menimbulkan risiko baru.
Pengawasan ketat atas alokasi dana, memastikan likuiditas tidak sekadar tersedot ke konsumsi mewah, spekulasi valas, atau pembelian aset asing yang tidak memberi nilai tambah bagi perekonomian domestik.
Instrumen kebijakan sebesar Rp200 triliun memerlukan keberanian untuk memprioritaskan sektor yang benar-benar produktif: pertanian, industri pengolahan, energi terbarukan, ekonomi digital berbasis produksi, dan UMKM yang menopang rantai pasok nasional. Dengan begitu, dana ini dapat menjadi katalis pertumbuhan sekaligus memperluas lapangan kerja.
Dana Rp200 triliun yang akan disalurkan pemerintah melalui perbankan adalah peluang besar untuk menggerakkan ekonomi. Namun, keberhasilan kebijakan tidak hanya diukur dari terserapnya dana, melainkan dari kualitas penyalurannya: siapa yang mendapat manfaat, sektor apa yang berkembang, dan sejauh mana modal tersebut tetap berputar di dalam negeri.
Tanpa arah distribusi yang inklusif dan pengawasan yang kuat, likuiditas jumbo itu bisa berubah menjadi hadiah bagi segelintir pihak, sementara mayoritas pelaku usaha kecil tetap menunggu giliran. Kebijakan fiskal yang bijak harus memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar menjadi energi bagi pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkeadilan.
Editor : Purnawarman