DPRD NTB Dukung Koperasi Tambang, Akademisi Unram Justru Kritik Keras

LOMBOK, iNewsLombok.id - Gagasan pembentukan Koperasi Tambang Rakyat yang diinisiasi oleh Kapolda NTB Irjen Pol Hadi Gunawan kini menjadi topik hangat dan menuai perdebatan di kalangan publik.
Proyeksi keuntungan hingga risiko kerugian dari program ini dibahas dalam diskusi publik pada Jumat (5/9/2025) yang menghadirkan tiga narasumber dengan pandangan berbeda: Syamsul Fikri (Anggota Komisi IV DPRD NTB), Kombes Pol Azas Siagian (Kabid Hukum Polda NTB), dan akademisi Universitas Mataram Taufan Abadi.
Pihak pendukung menilai inisiatif ini mampu membuka lapangan kerja baru sekaligus memberdayakan masyarakat kecil yang selama ini terjebak dalam tambang ilegal.
Syamsul Fikri menegaskan bahwa koperasi bisa menjadi jalan keluar, asalkan mendapat dukungan dari pemerintah dan mitra bisnis profesional.
"Negara ini juga harus hadir. Harus ada perubahan regulasi, terutama terkait kerja sama dan retribusi. Tanpa itu, koperasi tidak bisa dilaksanakan dengan baik," ujarnya.
Senada, Kombes Pol Azas Siagian menyebut program ini lahir dari keprihatinan Kapolda NTB terhadap minimnya kesempatan kerja.
Menurutnya, koperasi tambang rakyat tidak hanya memberi ruang legal bagi penambang ilegal, tetapi juga bisa melibatkan kelompok rentan untuk memastikan keadilan sosial.
Di sisi lain, akademisi Universitas Mataram, Taufan Abadi, mengajukan kritik keras terhadap wacana ini. Ia mempertanyakan logika pemberian izin pada sektor yang rawan merusak lingkungan.
"Kalau dia sehat, baik-baik saja, kenapa harus pakai izin? Seperti minuman keras, dia berbahaya makanya harus diatur. Pertambangan juga begitu," tegas Taufan.
Menurutnya, meskipun pertambangan disebut sebagai motor ekonomi daerah, faktanya angka kemiskinan ekstrem masih tinggi di NTB. Ia khawatir manfaat tambang lebih banyak dirasakan oleh kelompok kapitalis daripada rakyat kecil.
"Kesejahteraan belum hadir di depan mata kita. Kalau pertambangan dianggap vektor ekonomi, faktanya hari ini belum terbukti," pungkasnya.
Data BPS NTB 2024 mencatat tingkat kemiskinan ekstrem di NTB masih di atas rata-rata nasional (sekitar 3,5%).
Beberapa daerah seperti Lombok Timur dan Sumbawa Barat menjadi pusat aktivitas tambang rakyat, namun sering menimbulkan konflik sosial serta kerusakan ekologi.
Kementerian ESDM sebelumnya telah mendorong konsep Pertambangan Rakyat Terpadu, namun implementasinya masih minim karena tumpang tindih regulasi.
Jika koperasi tambang rakyat terbentuk, diperkirakan akan bersinggungan dengan kebijakan pemerintah pusat, termasuk izin wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang harus ditetapkan secara resmi.
Editor : Purnawarman