Kontraksi Ekonomi NTB Jadi Alarm Serius, Ini Kata Peneliti

LOMBOK, iNewsLombok.id - Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Triwulan II 2025 tercatat terkontraksi sebesar −0,82 persen (year-on-year). Angka ini menempatkan NTB sebagai provinsi dengan kinerja terendah kedua secara nasional setelah Papua Tengah.
Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara, Edo Segara Gustanto, mengatakan kontraksi tersebut menjadi alarm serius bagi struktur ekonomi NTB yang masih terlalu bergantung pada sektor pertambangan, khususnya komoditas tembaga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi hampir −30 persen. Penyebab utamanya adalah penurunan produksi konsentrat tembaga PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) hingga 57 persen akibat larangan ekspor mineral mentah.
Kondisi ini berdampak ganda, tidak hanya menekan ekspor barang dan jasa yang anjlok −40 persen, tetapi juga melemahkan sektor-sektor penunjang seperti perdagangan, transportasi, dan jasa logistik.
“Ini bukti bahwa ketika tambang terguncang, maka ekonomi daerah ikut jatuh,” tegas Edo.
Meski secara agregat pertumbuhan ekonomi NTB terlihat terpuruk, Edo menekankan bahwa bila sektor tambang dikeluarkan dari perhitungan, ekonomi NTB sebenarnya tumbuh positif sebesar 6,08 persen.
Sejumlah sektor non-tambang bahkan menunjukkan performa impresif, seperti industri pengolahan yang tumbuh 66,19 persen berkat beroperasinya smelter PT Amman Mineral Industri, sektor pertanian yang tumbuh 3,71 persen dengan kontribusi 23,31 persen terhadap PDRB, serta konstruksi, perdagangan, dan transportasi yang turut mencatat pertumbuhan positif.
Menurut Edo, hal ini membuktikan bahwa NTB memiliki potensi besar untuk melakukan diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pertambangan.
Sebagai rekomendasi, Edo menyarankan tiga langkah strategis yang perlu diprioritaskan pemerintah daerah. Pertama, melakukan diversifikasi ekonomi berbasis sumber daya lokal, dengan memperkuat sektor pertanian, pariwisata halal, UMKM, dan industri pengolahan.
Kedua, menjalankan transformasi hilirisasi yang konsisten, sehingga keberadaan smelter tidak hanya menjadi pengganti ekspor mentah, melainkan memperluas rantai nilai industri berbasis mineral di NTB.
Ketiga, meningkatkan peran konsumsi domestik dan belanja pemerintah, terutama pada sektor produktif dan padat karya, agar daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah tekanan global.
Edo menegaskan bahwa kontraksi −0,82 persen ini tidak boleh dipandang sekadar angka statistik, melainkan peringatan keras bahwa struktur ekonomi NTB sangat rapuh bila hanya ditopang oleh pertambangan.
Ke depan, NTB harus meneguhkan arah pembangunan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berbasis pada kekuatan sektor riil.
“Jika momentum diversifikasi ini dimanfaatkan dengan baik, NTB bisa keluar dari bayang-bayang fluktuasi tambang dan mewujudkan ekonomi yang lebih tangguh,” pungkas Edo.
Editor : Purnawarman