get app
inews
Aa Text
Read Next : BUMD NTB Terus Rugi? Ini 5 Solusi Strategis dari Akademisi Ekonomi Nasional

Dua Wajah Kemiskinan: Data Mana yang Harus Kita Percaya?

Selasa, 29 Juli 2025 | 16:49 WIB
header img
Foto Edo Segara Gustanto. Foto Ist

Edo Segara Gustanto

Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian, Analisis Ekonomi Nusantara (PKAEN)

PRESIDEN Prabowo saat menghadiri Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 20 Juli 2025 di Solo, mengatakan data kemiskinan di Indonesia menurun. Prabowo mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47 persen, setara dengan 23,85 juta jiwa. Angka ini adalah yang terendah dalam dua dekade terakhir dan mencerminkan keberhasilan sejumlah program pengentasan kemiskinan pemerintah.

Namun, gambaran ini menjadi kontras jika disandingkan dengan laporan Bank Dunia yang menyebut bahwa lebih dari 60 persen penduduk Indonesia (sekitar 171 juta jiwa) masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan dalam kategori “upper-middle income poverty line” (garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas), proporsinya bisa mencapai 68 persen atau lebih dari 194 juta orang.

Perbedaan angka tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan: Data siapa yang benar? Apakah pemerintah sedang menutupi realitas kemiskinan, atau justru Bank Dunia yang menggunakan standar terlalu tinggi? Mari kita bahas di tulisan ini.

Dua Metodologi, Dua Realitas

Perbedaan angka ini sejatinya tidak terletak pada keakuratan data, melainkan pada metodologi dan tujuan pengukuran yang berbeda. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yang menilai apakah seseorang mampu memenuhi kebutuhan pokok—seperti makanan, hunian, pendidikan, dan transportasi—berdasarkan harga dan kondisi lokal.

Garis kemiskinan nasional yang ditetapkan BPS untuk Maret 2025 adalah Rp609.160 per kapita per bulan. Penduduk yang pengeluarannya di bawah angka ini dikategorikan sebagai miskin. Data dikumpulkan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi instrumen utama penghitungan kemiskinan oleh BPS.

Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar Purchasing Power Parity (PPP). Dengan klasifikasi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), garis kemiskinan internasional yang digunakan adalah US$6,85 PPP per hari, atau sekitar Rp115.000 per hari. Dalam kerangka ini, masyarakat yang hidup dengan pengeluaran kurang dari jumlah tersebut dianggap miskin.

Bank Dunia pun memakai data Susenas yang sama, namun garis batasnya berbeda. Perbedaan inilah yang menghasilkan selisih angka kemiskinan yang besar antara keduanya.

Konteks dan Tujuan Berbeda

Perbedaan metode ini mencerminkan perbedaan konteks dan tujuan. BPS menyusun data untuk keperluan perencanaan dan evaluasi kebijakan nasional. Fokusnya adalah pada pengentasan kemiskinan ekstrem dan penyaluran bantuan sosial yang tepat sasaran.

Sebaliknya, Bank Dunia melihat kemiskinan dari perspektif global, dengan tujuan membandingkan kondisi antarnegara dan menilai ketahanan sosial-ekonomi dalam jangka panjang. Pendekatan ini berguna untuk mengungkap kerentanan yang tak selalu tampak dalam ukuran nasional.

Sebagai contoh, walaupun angka BPS menunjukkan penurunan kemiskinan, data Bank Dunia menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam batas kesejahteraan minimal menurut standar global. Ini artinya, mereka masih sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, seperti inflasi pangan atau PHK massal.

Kemiskinan Tidak Merata

BPS juga mencatat bahwa penurunan kemiskinan tidak terjadi secara merata. Di wilayah perkotaan, angka kemiskinan justru naik dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen. Sementara di desa turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen. Ketimpangan pengeluaran (rasio gini) pun hanya sedikit menurun, dari 0,381 menjadi 0,375.

Selain itu, 52 persen penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Papua Pegunungan (30,03 persen), sedangkan terendah adalah Bali (3,72 persen).

Adapun kemiskinan ekstrem menurun menjadi 0,85 persen atau 2,38 juta jiwa, namun tantangannya masih besar untuk menghapuskan sepenuhnya hingga tahun 2026.

Perbedaan angka kemiskinan bukanlah soal siapa yang benar atau salah. Ini tentang kerangka pandang dan alat ukur yang berbeda. BPS dan Bank Dunia justru saling melengkapi dalam membaca realitas sosial Indonesia.

Saat ini yang dibutuhkan adalah keberanian dan keterbukaan untuk mengakui bahwa, meskipun angka statistik menunjukkan perbaikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Data harus dimaknai lebih dari sekadar angka. Ia mencerminkan wajah masyarakat yang harus memilih antara makan atau membayar sekolah, antara bertahan hidup atau berusaha naik kelas sosial.

Oleh karena itu, pengambil kebijakan perlu menggunakan kedua pendekatan tersebut: data BPS untuk merancang intervensi yang presisi, dan data Bank Dunia untuk mengantisipasi kerentanan yang tak kasatmata.

 

Editor : Purnawarman

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut