Lapak Digusur, Karyawan Terancam Menganggur: Tanjung Aan Bergejolak

LOMBOK, iNewsLombok.id - Proses penggusuran lapak wisata di sepanjang Pantai Tanjung Aan resmi dimulai hari ini oleh aparat gabungan dari TNI, Polri, Satpol-PP, dan petugas keamanan ITDC (Vanguard). Tindakan ini menuai respons keras dari pelaku usaha setempat yang terdampak langsung, terutama para pengelola dan pekerja.
Salah satu yang terdampak adalah Aloha Kartini, salah satu pelaku UMKM yang telah lama beroperasi di kawasan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa penggusuran ini berpotensi membuat puluhan karyawan kehilangan pekerjaan.
“Kalau Aloha ini digusur, karyawan saya yang 60 orang kemana? Mudahan tidak menjadi rampok lagi,” ujar Kartini dengan nada kecewa.
Kartini juga menyoroti tindakan yang dianggap terburu-buru. Menurutnya, pihaknya telah meminta waktu tambahan untuk memindahkan peralatan dan bahan usaha mereka.
“Kan sudah kita dikasih waktu tiga hari, kenapa harus dipaksakan sekali,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ia mempertanyakan kebijakan penggusuran yang justru menyasar bangunan yang telah beroperasi di pinggir pantai, sementara lahan kosong seluas puluhan hektare di bagian belakang lapak belum disentuh.
“Dibelakang ini kan masih banyak kosong, kenapa harus bangunan yang ada di pinggir pantai yang dirobohkan dulu?” ujarnya penuh tanya.
Kapolres Lombok Tengah, AKBP Eko Yusmiarto, mengatakan bahwa petugas masih memberikan waktu kepada pemilik lapak untuk mengosongkan tempat.
“Kita kasih waktu satu jam untuk dikosongkan ya,” tegasnya saat berada di lokasi.
Penggusuran ini dilakukan sebagai bagian dari proyek penataan kawasan pariwisata oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) di kawasan Mandalika. Namun, banyak warga menilai proses ini tidak memprioritaskan komunikasi dan keberpihakan kepada masyarakat kecil.
Lapak-lapak yang digusur merupakan bagian dari zona wisata yang selama ini menjadi titik pertumbuhan ekonomi mikro di Tanjung Aan.
Kawasan Tanjung Aan masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, dan ITDC memiliki peran besar dalam pengembangan kawasan tersebut.
Belum ada kejelasan relokasi atau kompensasi yang konkret dari pihak ITDC maupun pemerintah daerah kepada para pelaku usaha terdampak.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pegiat pariwisata mendesak agar Pemprov NTB menyediakan solusi win-win agar pembangunan tidak merugikan masyarakat kecil.
Rencana jangka panjang ITDC disebut akan membangun fasilitas akomodasi dan pusat UMKM baru di kawasan belakang, tetapi hingga kini belum ada realisasi di lapangan.
Kasus penggusuran ini menunjukkan masih lemahnya komunikasi antara pengelola kawasan wisata dan masyarakat lokal.
Pemerintah daerah dan ITDC diharapkan segera menghadirkan solusi adil dan konkret, agar pengembangan pariwisata tidak menjadi pemicu konflik dan kesenjangan sosial.
Editor : Purnawarman