Ali BD Soroti Pentingnya Restorative Justice dalam Kasus ASN Gantung Diri di Kayangan Lombok Utara

LOMBOK, iNewsLombok.id – Mantan Bupati Lombok Timur, Ali Bin Daclan, menyoroti kasus tragis seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang gantung diri akibat diduga diintimidasi oknum polisi di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara.
Insiden ini memicu amuk massa yang membakar Kantor Polsek Kayangan. Daclan menilai konflik ini mencerminkan benturan antara hukum positif dan tradisi adat setempat yang mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif) dan budaya malu (rasa malu).
Dalam unggahan di akun Facebook-nya, Daclan menjelaskan bahwa korban memilih mengakhiri hidupnya karena beban malu meski telah memenuhi syarat perdamaian adat, seperti mengembalikan barang dan membayar ganti rugi.
“Menurut adat, jika sudah berdamai, selesai. Tapi polisi tetap melanjutkan proses hukum, mengabaikan restorative justice,” tulisnya.
Ia menekankan, dalam budaya Sasak Lombok Utara (khususnya Bayan, Kayangan, dan Tanjung), malu adalah hukuman paling berat. Pelanggaran seperti pencurian (luput ling tangan), fitnah (bila bibir), atau perzinahan (mengkiniq) biasanya diselesaikan dengan denda adat (menyowok gubuk) atau pengusiran dari desa, bukan melalui pengadilan formal.
Daclan menyayangkan sikap aparat yang dianggap tidak memahami kompleksitas adat setempat.
“Polisi mungkin bertindak melebihi kewenangan atau kurang pengetahuan. Kasus kecil seperti ini seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan, bukan diproses hukum yang justru memperparah beban korban,” ujarnya.
Kontekstualisasi Sejarah: Warisan Hukum Adat masa Kolonial
Konflik ini mengingatkan pada kajian antropolog Belanda J. Van Baal dan C. Van Vollenhoven tentang hukum adat Lombok Utara. Dalam buku Bayan: Masyarakat Adat Sasak, Van Baal mencatat bahwa masyarakat Bayan-Kayangan mempraktikkan sistem hukum berbasis restorative justice sejak 1940-an. Sementara Van Vollenhoven, “Bapak Hukum Adat Indonesia”, menyebut hukum adat Sasak sebagai perpaduan unik antara nilai Islam dan tradisi lokal.
“Kearifan lokal ini dulu diakui bahkan oleh pemerintah kolonial. Sayangnya, kini sering diabaikan,” kata Daclan.
Insiden di Kayangan mencerminkan kegagalan integrasi antara hukum modern dan adat. Masyarakat adat Lombok Utara, yang masih memegang teguh prinsip Watu Telu (keseimbangan alam-spiritual), kerap terjepit oleh birokrasi formal. Pembakaran Polsek Kayangan adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan.
Ali BD mendesak polisi dan pemda Lombok Utara melibatkan pemangku adat dalam menyelesaikan sengketa kecil.
“Penegak hukum harus paham bahwa malu bisa lebih menghancurkan daripada hukuman penjara. Mari hormati mekanisme adat untuk mencegah eskalasi konflik,” tegasnya.
Editor : Purnawarman