Renja (Rencana Kerja Tahunan OPD) sebagai turunan Renstra per tahun.
Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai tingkat desa hingga provinsi.
RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) sebagai prioritas tahunan.
KUA–PPAS (Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara) hasil kesepakatan Kepala Daerah dan DPRD.
RKA-OPD (Rencana Kerja dan Anggaran OPD) yang merinci program dan kegiatan.
RAPBD (Rancangan APBD) hasil kompilasi RKA-OPD sebelum disahkan bersama DPRD menjadi Perda APBD.
Menurutnya, seluruh perangkat tersebut cukup untuk memastikan jalannya program strategis daerah tanpa harus membentuk tim tambahan.
Potensi Tumpang Tindih dan Pemborosan Anggaran
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa Tim Percepatan justru berpotensi menimbulkan duplikasi kewenangan dengan OPD maupun staf ahli yang telah berpengalaman.
“Urgensinya tim percepatan seperti apa? Ini justru mengaburkan kemampuan Gubernur, Wakil Gubernur, SDM di OPD, dan tim pembantu birokrasi. Birokrasi NTB bukan tempat cari jabatan baru,” tegasnya.
Aji Maman juga menyoroti aspek efisiensi keuangan daerah. Menurutnya, jika tim baru ini dibentuk dengan beban anggaran dari APBD NTB, maka hal itu patut dipertanyakan di tengah kondisi fiskal yang terbatas.
“Urgensinya apa? Kalau hanya untuk mengangkat orang baru dengan gaji dari APBD, di tengah kondisi efisiensi anggaran, maka itu patut dipertanyakan. Mengelola pemerintahan bukan sekadar teori, tapi harus dikelola oleh orang-orang yang paham tata kelola birokrasi,” pungkasnya.
Tim Percepatan Pembangunan biasanya dibentuk oleh kepala daerah untuk memberi masukan strategis dan mempercepat implementasi program prioritas. Namun, efektivitasnya sering menuai kritik karena dianggap “ban serep birokrasi”.
Di beberapa provinsi lain, tim semacam ini pernah dipersoalkan DPRD karena tumpang tindih dengan tugas staf ahli dan OPD.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait