SABAH, iNewsLombok.id – Kasus kematian tragis Zara Qairina Mahathir (13), siswi kelas 1 di Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) Tun Datu Mustapha, kini memasuki babak baru. Kepolisian Diraja Malaysia pada Rabu (13/8/2025) mengungkap adanya indikasi kuat praktik bullying di balik kematian remaja tersebut.
Insiden bermula pada 14 Juli 2025, ketika Zara ditemukan tak sadarkan diri di asrama sekolah. Ia diduga jatuh dari lantai tiga gedung asrama dan menderita luka parah. Zara sempat dirawat di Rumah Sakit Queen Elizabeth I, namun nyawanya tak tertolong pada 17 Juli 2025.
Awalnya, pihak berwenang menduga penyebab kematian murni akibat jatuh. Namun keluarga korban menolak kesimpulan itu, mencurigai adanya unsur kekerasan.
Keluarga Minta Autopsi dan Penggalian Makam
Ibunda korban, Noraidah Lamat, mengaku menemukan memar mencurigakan di punggung Zara saat memandikan jenazah, namun awalnya tidak melaporkannya ke polisi.
Pada 30 Juli, ia resmi mengajukan laporan ke kepolisian untuk meminta penggalian makam putrinya demi pemeriksaan forensik. Laporan kedua dibuat pada 3 Agustus, kali ini memuat detail memar yang ia lihat.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Jaksa Agung Malaysia pada 8 Agustus memerintahkan penggalian makam dan autopsi dengan melibatkan ahli forensik. Proses autopsi dilakukan sehari kemudian, disaksikan langsung pengacara keluarga, Shahlan Jufri.
“Saya bisa memastikan bahwa autopsi dilakukan dengan sangat transparan dan berintegritas,” ujar Shahlan.
Hasil autopsi belum dapat diungkap karena masih dalam tahap penyelidikan. Menurut Shahlan, dokumen autopsi hanya dapat dipublikasikan di pengadilan jika ada perintah dari Jaksa Agung.
Bukti Rekaman Ungkap Ancaman Senior
Penyelidikan semakin mengarah pada dugaan bullying setelah keluarga menemukan rekaman percakapan di ponsel Zara. Dalam rekaman itu, seorang senior, yang disebut sebagai Kak M, mengancam korban dengan kalimat, "Jika saya menyentuhmu, kamu akan berdarah."
Rumor di media sosial menyebut bahwa Zara kerap diintimidasi oleh beberapa siswa senior. Pihak sekolah juga dituding mencoba menutupi kasus ini karena melibatkan pihak yang disebut sebagai "VIP" atau memiliki pengaruh besar di sekolah.
Kasus ini memicu kecaman luas dari aktivis hak anak di Malaysia, yang menuntut evaluasi sistem keamanan dan pengawasan di sekolah berasrama.
Kementerian Pendidikan Malaysia dilaporkan telah membentuk tim investigasi independen untuk memantau perkembangan kasus.
Data UNICEF 2024 menyebutkan, lebih dari 20% pelajar sekolah menengah di Malaysia mengaku pernah mengalami perundungan fisik atau verbal.
Jika terbukti ada unsur kekerasan, pelaku bisa dijerat Pasal 302 KUHP Malaysia dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait