KOPASSUS satuan elite di TNI Angkatan Darat (AD) sejak dibentuk pada 16 April 1952 hingga saat ini setia menjaga keutuhan NKRI.
Keberhasilannya di setiap palagan membuat Kopassus menjadi satuan yang disegani kawan dan ditakuti lawan.
Cikal bakal Kopassus sendiri lahir dari Instruksi Panglima Tentara dan Teritorium III Nomor 55/Instr/PDS/52 tanggal 16 April 1952 tentang pembentukan Kesatuan Komando Tentara dan Teritorium III atau Kesko III/Siliwangi.
Gagasan ini pertama kali muncul dari Letkol Slamet Rijadi yang kemudian diwujudkan oleh Kolonel Inf AE Kawilarang. Sejak dibentuk, Kopassus telah beberapa kali berganti nama, mulai dari Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) pada 1953 berubah menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) lalu kemudian Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1955.
Selanjutnya, pada 1966 satuan ini kembali berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (Puspassus). Pergantian nama kembali terjadi pada 1971, di mana satuan ini berubah menjadi Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha).
Hingga akhirnya pada 1985, nama satuan ini ditetapkan menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) hingga sekarang. Selama tujuh dekade berdiri, Korps Baret Merah telah dipimpin 35 Komandan Jenderal (Danjen).
Pemegang tongkat komando itu dimulai dari Mayor Inf. Idjon Janbi hingga teranyar Brigjen TNI Iwan Setiawan. Menariknya, dari deretan Danjen Kopassus terdapat nama Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo dan Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo.
Kedua tokoh milter TNI AD tersebut memiliki pertalian darah yang sangat erat. Di mana Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, yang merupakan Komandan RPKAD atau Danjen Kopassus ke-5 ini adalah ayah kandung dari Danjen Kopassus ke-23 Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo.
Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, memimpin pasukan khusus selama tiga tahun sejak 1964 hingga 1967. Pria kelahiran Purworejo 25 Juli 1925 ini merupakan orang kepercayaan Soeharto dalam operasi penumpasan G30S/PKI di Indonesia.
Bahkan, Sarwo Edhie terjun langsung memimpin pasukannya memerangi gerakan yang akan mengganti ideologi Pancasila dengan Komunis itu di Jawa Tengah.
”Pak Sarwo Edhie orang yang dekat dengan orang tua saya. Sebelum saya formal menjadi anak buahnya Sarwo Edhie, saya pun banyak dengar cerita-cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya. Bagaimana Pak Sarwo memimpin RPKAD pada saat-saat kritis Oktober 1945,” kenang Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catat dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto” dikutip SINDOnews, Rabu (8/6/2022).
Untuk mengenang jasa-jasanya, nama Sarwo Edhie Wibowo kini diabadikan menjadi salah satu nama gedung di Markas Komando (Mako) Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Sikap patriotik Sarwo Edhie dalam membela Tanah Air ternyata membekas dalam benak putra pertamanya Pramono Edhie Wibowo.
Pramono Edhie Wibowo kecil sangat bangga dan kagum pada figur ayahnya. Matanya tak mau terpejam bila melihat ayahnya memakai seragam tentara yang terlihat gagah dan berwibawa. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini pun mengikuti jejak ayahnya masuk dunia militer sebagai medan pengabdiannya.
Selepas lulus SMA pada 1974, pria kelahiran Magelang, 5 Mei ini memutuskan untuk masuk ke Akademi Militer (Akmil). Namun langkahnya terhenti lantaran Pramono Edhie Wibowo harus ikut ayahnya yang ditugaskan menjadi Dubes Berkuasa Penuh Korea Selatan.
Meski begitu, tekad dan semangat Pramono Edhie Wibowo untuk menjadi tentara tidak padam. Adik ipar mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini terus berlatih di bawah pengawasan langsung ayahnya.
Kembali ke Jakarta, Pramono Edhie Wibowo mendaftar ke Akmil, Magelang. ”Pilihan saya Angkatan Darat karena orang tua saya berjuang dan mengabdi di Angkatan Darat. Saya selalu melihat ayah saya berdinas di Angkatan Darat. Saya banyak diberi petunjuk oleh orang tua saya sehingga saya banyak mengetahui dunia militer di Angkatan Darat,” kenang Pramono Edhie Wibowo.
Lulus dari Akmil pada 1980, Pramono Edhie Wibowo memilih bergabung di pasukan tempur yakni Kopassus yang saat itu bernama Kopassandha.
”Saya mengambil jalur yang berbeda. Saya ingin berbeda dengan kakak saya. Kakak-kakak saya mengambil baret hijau, saya mengambil baret merah,” kenang Edhie dalam buku biografinya berjudul “Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo: Jejak Langkah Seorang Prajurit Komando”.
Selama pengabdiannya di Baret Merah, Pramono Edhie Wibowo beberapa kali diterjunkan ke medan operasi. Di antaranya Operasi Seroja di Timor-Timor kini Timor Leste. Karena loyalitas dan dedikasinya di medan operasi, Pramono Edhie Wibowo seringkali ditugaskan dalam operasi.
“Alhamdulillah…berkali-kali senior bertugas...saya ikut. Jadi dalam jumlah penugasan memang saya lebih banyak dari yang lain karena baru pulang kira-kira 10 hari sudah berangkat lagi,” ucapnya.
Selama mengabdi di Kopassus, sejumlah jabatan strategis pun diembannya mulai dari Komandan Batalyon 11 Grup 1 Kopassus Serang, Banten. Kemudian Wadan Grup 1 Kopassus. Setahun kemudian, Pramono Edhie Wibowo diangkat menjadi Asisten Operasi (Asops) Kopassus.
Setelah sukses dalam misi pendakian gunung tertinggi di dunia Mount Everest di Nepal, dia kemudian diangkat menjadi Komandan Grup 1 Kopassus Serang, Banten. Sempat menjadi ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri, karier Pramono Edhie Prabowo di Kopassus terus melesat.
Dia kemudian ditempatkan di Sesko TNI dengan jabatan Perwira Ahli Bidang Ekonomi dan Politik. Tidak lama kemudian, dia ditarik kembali ke Korps Baret Merah menjadi Wandjen Kopassus.
Puncaknya, Pramono Edhie Prabowo diangkat sebagai Danjen Kopassus menggantikan Mayjen TNI Soenarko. Dengan jabatan sebagai Danjen Kopassus, dia akhirnya mampu mengikuti jejak ayahnya menjadi orang nomor satu di pasukan elite tersebut.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta