Kejati NTB Tekankan Penguatan Hukum Daerah dan Persiapan KUHP Baru 2026
LOMBOK, iNewsLombok.id - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat, Wahyudi SH MH, menyampaikan arah kebijakan penting terkait penguatan kelembagaan hukum daerah saat menghadiri Penandatanganan MoU Perjanjian Kerja Sama antara Kejati NTB dan pemerintah daerah se-NTB.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., Direktur C JAM Pidum Agoes Soenanto Prasetyo, S.H., M.H., Gubernur NTB H. Lalu Muhamad Iqbal, Wakil Gubernur NTB Hj. Indah Dhamayanti Putri, serta seluruh kepala daerah kabupaten/kota.
Dalam kesempatan itu, Wahyudi menekankan dua fokus utama Kejati NTB saat ini: penguatan infrastruktur kejaksaan di daerah dan kesiapan menghadapi implementasi KUHP nasional yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Wahyudi mengungkapkan bahwa hingga kini masih terdapat tiga wilayah yang belum memiliki kantor Kejaksaan Negeri (Kejari), yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Bima. Padahal idealnya setiap kabupaten/kota memiliki Kejari demi mempercepat layanan hukum dan pendampingan pemerintah daerah.
“Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi NTB itu luas, membawahi delapan kabupaten dan dua kota. Namun masih ada tiga kabupaten yang belum memiliki Kejari. Kami berharap percepatan ini segera ditindaklanjuti,” tegas Wahyudi.
Menurutnya, kesiapan lahan di beberapa wilayah sudah rampung, bahkan sejumlah daerah telah menyediakan lokasi untuk pembangunan kantor Kejari baru. Usulan ini telah disampaikan kepada Wakil Presiden dan kementerian terkait.
Wahyudi juga menyoroti pentingnya kesiapan seluruh aparat hukum di NTB menghadapi perubahan besar ketika KUHP baru diterapkan.
“Paradigma hukum akan berubah hampir total kini bangsa Indonesia memasuki babak baru. Tugas kejaksaan juga bergeser lebih humanis, berkeadilan, dan memberi ruang restoratif,” ujarnya.
Salah satu perubahan besar adalah pemberlakuan pidana kerja sosial, yang dinilai lebih efektif untuk perkara ringan, mengurangi kepadatan lapas, dan memberi manfaat langsung kepada masyarakat.
Wahyudi menyampaikan bahwa NTB termasuk daerah yang paling progresif dalam menerapkan keadilan restoratif. Sejak 2025, sekitar 60 perkara telah dihentikan penuntutannya sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.
“Kami juga menginstruksikan agar para pelaku yang menjalani sanksi sosial diberi atribut khusus. Ini penting agar masyarakat memahami bahwa mereka bukan petugas kebersihan, melainkan warga yang sedang menjalani hukuman sosial,” jelasnya.
Sebagai Restorative Justice (RJ) Mandiri, NTB berwenang memutuskan penghentian perkara tertentu tanpa harus menunggu persetujuan Kejaksaan Agung.
Tidak hanya fokus pada penegakan hukum, Kejati NTB juga memperkuat fasilitas rehabilitasi pengguna narkotika. RSJ Mutiara Sukma telah meningkatkan kapasitas layanan dari 15 menjadi 50 pasien. Selain itu, pembangunan Balai Rehabilitasi Adhyaksa di Lombok Tengah masih berlangsung.
Wahyudi menutup pemaparannya dengan apresiasi tinggi kepada seluruh pemangku kepentingan yang terus mendukung tugas kejaksaan.
“Perubahan besar dalam penegakan hukum ini tidak bisa dikerjakan kejaksaan sendiri… ini bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi membangun peradaban hukum yang lebih manusiawi bagi bangsa kita,” pungkasnya.
Proses pembentukan Kejari baru rata-rata memerlukan evaluasi dari Kejaksaan Agung, KemenPAN-RB, Kementerian ATR/BPN, serta Bappenas terkait analisis kebutuhan dan infrastruktur dasar.
Dalam catatan nasional, NTB termasuk daerah dengan tingkat penyelesaian perkara cepat dalam skema RJ sepanjang 2024–2025.
Penerapan KUHP baru mewajibkan jaksa mengikuti pelatihan khusus terkait pemidanaan kerja sosial dan mekanisme pemidanaan alternatif.
Pembangunan Kejari baru diproyeksikan mempercepat penanganan kasus tipikor daerah yang selama ini ditangani Kejati karena tidak adanya Kejari setempat.
Editor : Purnawarman