Broker Politik, dan Jual beli Pengaruh di Panggung Demokrasi Lokal
Jasa politik broker tentu tidak gratis melainkan berbayar dan mahal karena setiap melakukan kerja-kerja canvasing (turun lapangan),ground campaign (kampanye lapangan), dan voter contac yang dilakukan broker harus dikonpensasi oleh aktor yang berlaga di pilkada dan pileg dengan banyak tumpukan lembaran rupiah.
Broker memiliki tugas-tugas layaknya intelijen dan dapat melakukan operasi senyap dan terbuka untuk mengeliminasi prospek menang lawan. Meski tidak sekolah politik tetapi jangan tanya soal pengalaman politik broker, mereka di lapangan adalah maestro yang lihai mengenal medan, mengetahui simpul tokoh, dan memiliki insting politik yang tajam untuk mengenali/memetakan potensi basis dukungan politik kandidat yang diusung.
Tubuh kekuasaan demokrasi lokal nyaris dikuasai, dibungkus dan kendalikan oleh broker politik sehingga tidak jarang sejumlah keputusan politik kepala daerah diatur atas dasar rekomendasi broker politik. Broker berfungsi sebagai konektor antara kepentingan kekuasaan dan kebutuhan publik, broker seringkali saya lihat mengoperasikan pengaruhnya di luar sistem dan struktur formal partai atau lembaga negara.
Broker-broker ini cerdik dalam memainkan isu, narasi dan demagogi politik untuk lemahkan pergerakan lawan lewat propaganda, labeling, sterotipe dan diksi pejoratif kepada rival poltiknya. Aktor, broker dan modal politik memang merupakan elemen utama dalam kontestasi politik, aktor tanpa modal dan broker akan sulit dikenali di pasar pemilih.
Dalam banyak kemenangan politik faktor kehandalan broker mengatur strategi dan mendistribusikan modal logistik kepada pemilih adalah kunci menangkan kosntestasi.Dalam politik definisi modal bisa bermacam-macam ada modal sosial, modal ekonomi dan modal simbolik. Namun, realitasnya banyak aktor yang mejadi kontestan di pilkada dan pileg hanya miliki modal kemauan saja tanpa didukung oleh modal simbolik yakni pengetahuan, skill dan kompetensi menjadi pemimpin.
Sehingga sering gagal menggunakan otoritas kekuasaan sebagai instrumen politik menghadirkan kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan bagi publik. Demokrasi lokal seolah telah kehilangan aroma idealismenya.
Yang tersisa kini hanyalah pasar pengaruh trading influence tempat para elit memperdagangkan dukungan, posisi, dan akses kekuasaan. Di ruang ini, politik tak lagi bicara soal gagasan, melainkan soal siapa yang punya jejaring, siapa yang bisa mengatur arus suara, dan siapa yang sanggup membeli legitimasi sosial. Fenomena trading influence ini bekerja halus tapi nyata.
Editor : Purnawarman