KPK Tetapkan 5 Tersangka Korupsi Kredit Fiktif BPR Jepara Artha, Rp254 Miliar Diduga Dipakai Umroh

JAKARTA, iNewsLombok.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang sebagai tersangka dugaan korupsi dalam kasus pencairan kredit fiktif di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jepara Artha periode 2022–2024. Ironisnya, sebagian dana hasil korupsi tersebut diduga digunakan untuk membiayai ibadah umrah para tersangka.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan kasus bermula saat BPR Jepara Artha menerima penyertaan modal sebesar Rp24 miliar dari Pemerintah Kabupaten Jepara pada 2021. Dana ini kemudian dikelola dengan kebijakan kredit usaha berbasis sindikasi oleh Direktur Utama BPR Jepara Artha, Jhendik Handoko (JH).
“Selama dua tahun berjalan, terdapat penambahan outstanding kredit usaha kepada dua grup debitur secara signifikan sekitar Rp130 miliar melalui 26 debitur terafiliasi. Namun, performa kredit memburuk hingga gagal bayar sehingga menurunkan kinerja BPR Jepara,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (18/9/2025) malam.
Untuk menutup kredit macet, JH bersama Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang, Mohammad Ibrahim Al’asyari (MIA), sepakat mencairkan kredit fiktif. Kredit tersebut direalisasikan pada periode April 2022–Juli 2023 dengan total 40 debitur fiktif senilai Rp263,6 miliar.
Menurut Asep, data debitur dimanipulasi agar seolah-olah layak menerima pinjaman besar. “Debitur berprofesi sebagai pedagang kecil, tukang, buruh, karyawan, ojek online, hingga pengangguran, namun dibuat seolah-olah berhak atas kredit rata-rata Rp7 miliar per orang,” ujarnya.
MIA, dibantu beberapa pihak, mencari orang yang bersedia dipinjam namanya dengan imbalan rata-rata Rp100 juta. Mereka diminta menyiapkan dokumen palsu, seperti rekening koran fiktif, izin usaha, hingga laporan keuangan yang dimark-up.
Asep mengungkap, dana kredit fiktif dibagi dalam dua jalur:
Ditranfer ke rekening debitur fiktif, kemudian dialihkan ke rekening MIA setelah dipotong fee Rp100 juta.
Disimpan di rekening debitur di BPR Jepara, lalu ditarik oleh pejabat internal bank untuk dialihkan ke rekening penampungan.
Dana itu digunakan untuk berbagai kebutuhan, di antaranya:
Biaya provisi Rp2,7 miliar.
Premi asuransi Jamkrida Rp2,06 miliar, dengan kickback Rp206 juta ke JH.
Biaya notaris Rp10 miliar, dengan kickback ke Iwan (Rp275 juta) dan Ahmad Nasir (Rp93 juta).
Selain itu, Rp95,2 miliar dipakai JH untuk menutup kredit macet, membeli Honda Civic Turbo, dan mengambil uang tunai Rp1 miliar. Sementara MIA menggunakan Rp150,4 miliar untuk membeli tanah, membayar angsuran kredit, hingga memutar dana melalui transaksi fiktif seolah untuk usaha beras.
“Terhadap realisasi kredit fiktif tersebut, MIA memberikan sejumlah uang kepada tersangka BPR Jepara: JH sebesar Rp2,6 miliar; IN sebesar Rp793 juta; AN Rp637 juta; AS Rp282 juta; serta dana umrah Rp300 juta untuk JH, IN, dan AN,” ungkap Asep.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih menghitung total kerugian, namun sementara nilai kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp254 miliar.
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
BPR Jepara Artha adalah salah satu BPR milik daerah yang awalnya bertujuan membantu UMKM di Jepara.
Kasus ini menunjukkan modus baru penyalahgunaan kredit sindikasi, dengan memanfaatkan profesi masyarakat kecil sebagai identitas palsu.
KPK menegaskan akan memperluas penyelidikan untuk menelusuri kemungkinan aliran dana ke pihak lain, termasuk pejabat daerah.
Editor : Purnawarman