Kebijakan Fiskal dan Pengentasan Kemiskinan di NTB

Edo Segara Gustanto
Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara
Di tengah berbagai tantangan pembangunan daerah, capaian fiskal Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapat apresiasi nasional dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Berdasarkan data Kemendagri per pertengahan 2025, NTB menempati posisi kedua secara nasional dalam realisasi pendapatan dan belanja daerah.
Hingga Juni 2025, realisasi pendapatan daerah NTB tercatat mencapai 55,87 persen, sedangkan belanja daerah mencapai 40,91 persen—angka yang mengungguli banyak provinsi besar lainnya.
Capaian ini bukan sekadar pencapaian administratif. Ia mencerminkan kedisiplinan fiskal, profesionalisme birokrasi, serta efektivitas koordinasi antarsektor dalam pengelolaan APBD.
Ketika sejumlah provinsi lain masih tertahan pada serapan anggaran di bawah 40 persen, NTB menunjukkan bahwa tata kelola keuangan daerah bisa dilakukan secara efisien dan progresif, bahkan di tengah keterbatasan fiskal.
Ini memperkuat posisi NTB sebagai provinsi yang tengah berbenah dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas anggaran terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun capaian tersebut belum cukup jika tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. NTB masih menghadapi tantangan serius dalam hal pengentasan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan NTB per 2024 masih berada di kisaran 13 persen, menjadikannya salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia bagian barat.
Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan fiskal belum sepenuhnya bertransformasi menjadi pertumbuhan inklusif yang menyentuh lapisan terbawah masyarakat.
Optimalisasi belanja daerah menjadi krusial dalam konteks ini. Serapan anggaran yang cepat dan tepat sasaran memungkinkan manfaat APBD menjangkau kelompok masyarakat rentan lebih awal dan merata.
Belanja produktif seperti program pemberdayaan ekonomi, perlindungan sosial, pelatihan kerja bagi keluarga prasejahtera, subsidi pendidikan, hingga insentif bagi UMKM harus menjadi prioritas.
Program-program ini tidak sekadar menyerap anggaran, tetapi berfungsi memulihkan daya beli, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan ekonomi lokal.
Kecepatan belanja juga menunjukkan kesiapan birokrasi dalam mengeksekusi program. Ketika banyak daerah baru merealisasikan anggaran di akhir tahun, NTB dengan serapan 40,91 persen pada pertengahan tahun memperlihatkan ritme kerja yang lebih stabil. Ini memberi waktu untuk evaluasi, perbaikan, dan penyesuaian yang penting agar program berjalan optimal.
Namun demikian, capaian belanja di angka 40 persen lebih tetap menyisakan tantangan: risiko “spending rush” di akhir tahun anggaran. Belanja yang dipaksakan hanya demi menyelesaikan anggaran bisa menjadi simbolik dan tidak berdampak nyata.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, waktu adalah faktor yang menentukan. Semakin cepat program dijalankan, semakin cepat pula masyarakat miskin merasakan dampaknya.
Karena itu, Pemerintah Provinsi NTB perlu memperkuat pendekatan belanja berbasis dampak (outcome-based spending). Ukuran keberhasilan tidak cukup dari serapan anggaran semata, tetapi dari seberapa besar perubahan sosial yang dihasilkan.
Evaluasi berkelanjutan, pelibatan publik, dan transparansi dalam pelaksanaan program menjadi prasyarat penting agar anggaran benar-benar menjadi alat perubahan sosial.
NTB memiliki potensi luar biasa: sumber daya alam yang melimpah, sektor pariwisata yang terus tumbuh, serta masyarakat yang kian terbuka pada inovasi. Kini, dengan pengelolaan fiskal yang semakin baik, NTB punya peluang besar untuk menjadi model daerah yang berhasil mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan agenda keadilan sosial.
APBD harus dimaknai bukan sebagai instrumen teknokratik, tetapi sebagai alat pembebasan sosial yang mampu memotong rantai kemiskinan.
Sudah waktunya capaian fiskal ini diarahkan secara lebih strategis untuk mengatasi kemiskinan struktural di NTB. Keberhasilan fiskal akan lebih bermakna jika bisa menjelma menjadi keberhasilan dalam layanan dasar, pemberdayaan warga miskin, serta penyusunan anggaran yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Insha Allah.
Editor : Purnawarman