Saatnya Masyarakat Cerdas Menilai: Pesantren Bukan Tempat yang Patut Dihakimi, Tapi Diperkuat

Muhammad Anshori Muazar Habibi
Mudirul 'Aam Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School
Di tengah derasnya arus pemberitaan tentang kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan oknum ustadz di beberapa pesantren, publik seolah tergiring pada satu persepsi: bahwa pesantren adalah tempat yang tidak aman bagi anak-anak. Ditambah maraknya perilaku menyimpang yang menghantui dunia remaja—seperti narkoba, seks bebas, dan kekerasan di sekolah umum—para orang tua kini kembali bertanya-tanya: di mana anak sebaiknya bersekolah?
Pertanyaan ini tak sederhana. Sebab memilih sekolah bukan hanya soal kurikulum atau fasilitas. Ini adalah tentang membentuk manusia utuh—cerdas secara intelektual, kuat secara spiritual, dan tangguh menghadapi zaman.
Perlu ditegaskan bahwa pesantren bukan lembaga baru. Ia adalah sistem pendidikan tertua di Indonesia, bahkan eksis jauh sebelum republik ini berdiri.
Sejarah mencatat, dari pesantren-lah lahir para tokoh perjuangan, ulama besar, hingga pemimpin bangsa. Pesantren adalah benteng moral yang membentuk kepribadian Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Namun kini, hanya karena satu atau dua oknum ustadz melakukan kejahatan, masyarakat seolah dengan mudahnya mencabut kepercayaan dan memberi stigma buruk pada seluruh lembaga pesantren. Ini tentu tidak adil.
Yang harus diadili adalah pelaku, bukan lembaganya. Yang harus dikritisi adalah sistem pengawasan, bukan nilai-nilai mulia yang ditanamkan pesantren selama berabad-abad.
Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan oleh kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang ketua yayasan pondok pesantren di Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Oknum berinisial AF diduga mencabuli puluhan santriwati sejak tahun 2016 hingga 2023.
Modus yang digunakan sangat manipulatif, dengan menjanjikan "keberkahan" kepada korban agar keturunannya kelak menjadi wali atau ulama besar.
Kasus ini mencuat ke publik setelah beberapa alumni santriwati memberanikan diri untuk melapor, terinspirasi dari serial Malaysia berjudul “Bid’ah” yang viral di media sosial. Mereka merasa pengalaman yang dialami mirip dengan cerita dalam serial tersebut.
Hingga saat ini, setidaknya 22 nama korban telah teridentifikasi, dengan tujuh di antaranya sudah melapor resmi ke pihak kepolisian.
Namun perlu digarisbawahi: jangan sampai kasus ini dijadikan justifikasi untuk mengeneralisasi bahwa semua pesantren itu buruk, atau bahwa sistem pendidikan pesantren identik dengan kekerasan dan pelecehan. Ini adalah kekeliruan logika yang berbahaya dan tidak adil.
Kita harus mampu memisahkan antara perilaku bejat individu dengan integritas institusi pesantren secara keseluruhan. Jika ada oknum yang menyimpang, maka dialah yang harus diadili. Tapi jangan sampai label negatif itu dilemparkan ke ribuan pesantren lain yang selama ini berjalan dengan lurus, ikhlas, dan penuh dedikasi dalam membina santri.
Menghakimi seluruh pesantren karena kesalahan satu orang sama halnya seperti menghancurkan masjid karena imamnya berbuat salah. Itu bukan sikap bijak, dan jauh dari prinsip keadilan.
Sebaliknya, jadikan kasus ini sebagai momentum introspeksi dan perbaikan—baik dalam sistem pengawasan internal lembaga, maupun dalam literasi publik agar tidak mudah terprovokasi oleh framing media yang tendensius.
Di sinilah pentingnya peran Kementerian Agama, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, untuk lebih aktif dalam pembinaan, pengawasan, dan pendampingan pesantren.
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di bawah Ditjen Pendis Kemenag RI memiliki tanggung jawab strategis untuk membina kurikulum, legalitas, serta menjaga integritas lembaga.
Di daerah, Kantor Kemenag Kabupaten dan Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) harus menjadi garda depan yang memastikan bahwa semua pesantren terdaftar resmi, memiliki struktur pengelolaan yang transparan, dan membangun ekosistem pendidikan yang aman dan beretika.
Penguatan sistem pelaporan, pelatihan pengasuh santri, serta audit etika perlu menjadi bagian dari kebijakan berkelanjutan.
Dengan kolaborasi antara lembaga pesantren, pemerintah, dan masyarakat, kasus seperti ini dapat dicegah, dan marwah pesantren sebagai benteng moral bangsa tetap dapat dijaga.
Masyarakat perlu sadar, membangun pesantren adalah proses panjang, melelahkan, dan sarat pengorbanan. Butuh bertahun-tahun untuk membentuk kepercayaan, membangun kultur, dan memperkuat nilai. Maka ketika ada opini publik yang gegabah dan tidak proporsional, dampaknya sangat merusak.
Opini yang tidak sehat bisa membuat wali santri ragu, bisa menjatuhkan semangat guru-guru, bahkan bisa membunuh karakter para santri yang selama ini dididik dengan cinta dan kesungguhan.
Di sinilah pentingnya literasi publik dalam menilai informasi. Jangan hanya karena satu berita viral, kita terburu-buru membuat vonis yang menyudutkan seluruh pesantren.
Sekolah umum memang memiliki banyak keunggulan: fasilitas modern, jejaring luas, dan pembelajaran berbasis teknologi. Tapi sekolah umum juga sedang menghadapi tantangan serius: lemahnya pengawasan karakter, masuknya pengaruh budaya permisif, hingga tingginya angka bullying, tawuran, dan penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja.
Dalam situasi seperti ini, pesantren justru menjadi pilihan rasional—tempat di mana anak-anak dibina secara menyeluruh: akhlaknya, ibadahnya, kedisiplinannya, dan ketahanannya dalam menghadapi dunia modern.
Tentu kita tak boleh menutup mata bahwa pesantren juga butuh pembenahan. Transparansi, profesionalisme, perlindungan santri, dan sistem pelaporan yang terbuka harus diperkuat. Tapi bukan dengan cara meninggalkan pesantren, apalagi mencabut kepercayaan pada seluruhnya.
Justru inilah saatnya masyarakat, pemerintah, dan media bersinergi memperkuat pesantren-pesantren yang baik. Karena mereka adalah harapan terakhir dalam membentuk generasi berkarakter di tengah gempuran krisis moral yang melanda.
Mari kita hentikan narasi keliru yang menyudutkan pesantren secara serampangan. Mari jaga marwah lembaga pendidikan Islam yang telah lama menjadi benteng moral bangsa ini. Karena pesantren bukan sekadar tempat belajar—tapi tempat menanam iman, adab, dan masa depan.
Dan pada akhirnya, bukan soal anak sekolah di mana, tapi siapa yang mendidik mereka, dengan nilai apa mereka dibesarkan, dan dalam lingkungan seperti apa karakter mereka dibentuk.
Editor : Purnawarman